REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung resmi mendeponering kasus yang melibatkan mantan pimpinan KPK, Bambang Widjojanto dan Abraham Samad serta mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) terhadap kasus penyidik KPK Novel Baswedan. Namun, banyak pihak yang pro kontra atas putusan Jaksa Agung tersebut.
Salah satunya dengan pelaporan HM Prasetyo ke Mabes Polri karena dianggap telah menyalahgunakan kewenangannya. Walau begitu, Pakar hukum Universitas Indonesia Narendra Jatna menilai langkah tersebut sudah tepat.
"Kejaksaan telah menjalankan fungsinya sebagai pengendali perkara terhadap dua hal yang diduga adanya praktik kriminalisasi," kata Narendra dalam diskusi di kantor YLBHI Jakarta, Ahad (20/3).
Deponering, menurut dia, merupakan langkah tepat karena merujuk pada kejanggalan proses pada kasus BW dan AS yang seolah-olah dipaksakan. Selain itu terdapat kepentingan umum masyarakat bahwa kriminalisasi tersebut dapat melemahkan gerakan anti korupsi di Indonesia.
"Penggunaan kewenangan deponering ini semakin mengukuhkan Jaksa Agung sebagai dominus litis (pengendali perkara) dalam sistem peradilan pidana. Jaksa penuntut umum sebagai pengendali perkara bukan merupakan yang aneh di berbagai negara, bahkan merupakan suatu keharusan," ujar Jarendra.
Menurut Narendra, prinsip dominus litis mensyaratkan tindakan penyidik dalam mengumpulkan suatu bukti, bukan dalam rangka untuk terselesainya penyidikan. Namun bertujuan untuk memenuhi unsur dakwaan secara materiil di persidangan nantinya yang akan dilakukan oleh jaksa penuntut umum.
"Sedangkan asas oportunitas yang dimiliki oleh Jaksa Agung juga tidak dapat dibatalkan oleh mekanisme praperadilan yang diatur dalam KUHAP. Jika merujuk pada penjelasan Pasal 77 KUHAP tertulis bahwa pengehentian penuntutan, maka termasuk penyempangian perkara untuk kepentingan umum," katanya.
Dalam pengendalian proses perkara, kata dia, Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi juga diberikan kewenangan prerogratif untuk menjalankan asas oportunitas. Jaksa Agung, lanjut dia, dapat mengesampingkan suatu perkara, dengan dasar adanya kepentingan umum masyarakat.
"Hal itu telah diatur dalam Pasal 35 huruf c UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, meskipun dalam oenjelasan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan mengatur bahwa Jaksa perlu memperhatikan masukan atau pendapat dari badan-badan kekuasaan negara terkait," ujar Narendra.
Menurut dia, dengan kasus tersebut, menggambarkan bahwa seoarang Jaksa Agung mempunyai independensi dalam menentukan perkara yang layak atau tidak layak untuk dibawa ke Pengadilan. Independensi tersebut, lanjut dia, disebut sebagai asas oportunitas dari penuntut umum selaku penegak hukum.
"Sehingga tidak dapat dipengaruhi oleh kebijkan-kebijakan politik semata," katanya.
Narendra menambahkan, pengajuan pemohonan praperadilan atas suatu deponering merupakan langkah akrobatik hukum yang telah merusak suatu tatanan hukum yang telah ada. "Bahkan lebih lagi, pelaporan Jaksa Agung ke Mabes Polri atas tindakan yang telah sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh UU," katanya.