REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Aktivitas pertanian Indonesia sesungguhnya sangat erat dengan kegiatan budaya. Unsur budaya inilah yang kemudian menempatkan pertanian Indonesia sebagai kekuatan sekaligus menjadi pembeda dengan negara lain yang juga melakukan kegiatan negara agraris.
Hal tersebut menjadi benang merah dari kegiatan Ngobrol Budaya Pertanian yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor (Himasita IPB) yang digelar di kampus Darmaga, Bogor, Kamis (24/3) malam.
Dalam diskusi ini hadir sebagai pembicara Ketua Departemen Proteksi Tanaman IPB, Dr Suryo Wiyono; staf pengajar Proteksi Departemen Proteksi Tanaman, Dr Widodo dan budayawan Mohammad Sobary.
''Kegiatan semacam ini menjadi sangat penting bagi civitas akademika. Diskusi-diskusi yang berkaitan dengan kebudayaan, sekarang ini sudah sangat jarang dilakukan. Semoga kegiatan ini memberikan warna lain bagi kehidupan dan dinamika berpikir di kampus,'' kata Ketua Departemen Proteksi Tanaman IPB, Dr Suryo Wiyono.
Suryo mengatakan membicarakan aktivitas pertanian sesungguhnya menjadi hal yang tak bisa terpisahkan dengan kegiatan kebudayaan. Sejarah pertanian di nusantara, kata dia, sudah membuktikannya. ''Dengan memahami hal ini, diharapkan muncul kepedulian yang tinggi sehingga kita mau kembali ke pertanian dan membangun pertanian serta para petaninya,'' ujarnya.
Sementara itu Sobary melihat adanya persoalan besar yang masih melilit dunia pertanian di Indonesia. Ia mengatakan dunia pertanian Indonesia sekarang ini sedang dihadapkan pada dua tantangan besar. Keduanya adalah penguasaan kapital yang tersentral pada sekelompok pihak serta kebijakan yang secara terstruktur melemahkan kaum tani.
''Akibatnya petani menjadi kelompok masyarakat yang tak memiliki kekuatan tapi dibiarkan bertarung sendirian di tengah pusaran kekuasaan modal dan kebijakan yang tak berpihak pada mereka,'' ujarnya.
Untuk itu, Sobary mengajak seluruh civitas akademika agar peduli pada nasib petani dan pertanian di Indonesia. Akademisi dan mahasiswa, kata dia, memiliki tanggungjawab etis terhadap hal ini. Ilmu pengetahuan yang bersemi di perguruan tinggi seharusnya bisa terus dikembangkan.
''Jadi jangan hanya sampai dilakukan untuk melayani kepentingan tuntutan akademik semata saja,'' katanya. ''Ilmu yang dimiliki itu harus diarahkan untuk melayani kemaslahatan. Jika tidak maka hal itu bisa jadi kita melakukan dosa sosial bagi bangsa ini,'' sambungnya.