REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Panja Terorisme, Arsul Sani menghargai permintaan tim advokasi yang menghendaki pembahasan revisi UU Terorisme ditunda, mengingat masih terdapat beberapa masalah yang belum selesai terkait kasus kematian Siyono. Kasus ini kemudian menjadi salah satu usulan evaluasi dalam hal revisi UU Terorisme.
Namun, Arsul menilai, para anggota dewan juga tidak bisa meninggalkan pembahasan revisi UU Terorisme. Selain karena revisi undang undang usulan pemerintah, menurut Arsul hal tersebut melanggar undang undang.
Penundaan itu menurut Arsul bukan berarti tidak dibahas. Tetapi dalam memutuskan pihak legeslatif diminta tidak terburu buru. "Kalau kita diminta menunda dalam artian jangan membahas ini secara terburu-buru saya sepakat. Kami fraksi PPP juga tidak bisa buru-buru. Tapi kalau tidak dibahas kemudian ditinggalkan ya tidak bisa juga," ujar Arsul saat ditemui Republika.co.id di Komplek Parlemen, Selasa (12/4).
Dinilai Arsul revisi UU Terorisme itu tentu tetap harus dibahas. Pihak Legslatif terbuka untuk masukan publik baik dari LSM maupun organisasi masyarakat. Menurut Arsul ada mekanisme DIM (Daftar Inventaris Masalah) yang disana bisa dirumuskan publik menjadi masukan bagi legeslatif.
Usulan itu menurut Arsul bisa meminimalisir adanya pro kontra dan revisi uu yang jauh dari asas HAM. PPP dalam hal ini Arsul Sani pun sepakat revisi UU Terorisme harus tetap menjunjung tinggi nilai nilai HAM dan tidak menimbulkan kebencian baru. Meski begitu, isu terorisme memang harus tetap dihilangkan agar tak menjadi ketakutan bagi warga negara Indonesia.
"Saat ini ada mekanisme DIM. kita masih ada waktu 60 hari kok. jadi bisa masyarakat kasih masukan ke kita," ujar Arsul.
Ketua Bidang Hukum PP Muhammadiyah, Busyro Muqqodas siap membantu DPR memberikan masukan. Ia menjamin poin yang disodorkannya nanti tetap bisa menekan angka terorisme tanpa harus mengesampingkan HAM dan membuat warga menjadi takut.
"Jangan sampai lebih banyak yang dibunuh daripada yang diadili," kata Busyro.