REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil autopsi terhadap jenazah terduga teroris Siyono, semakin menguatkan dugaan terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh tim Densus 88 antiteror.
Hasil ini dinilai melahirkan kontraksi dari pihak Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Beragam pernyataan yang muncul tampak tidak seragam.
"Intinya bersikukuh bahwa aparat Densus 88 tidak melakukan tindak kriminal terhadap Siyono," ujar pengamat terorisme dan Direktur The Community of ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya, Kamis (14/4).
Beragam pernyataan muncul mulai dari Densus 88 yang mungkin hanya menyalahi kode etik, bahkan rencana akan digelar sidang kode etik secara terbuka.
Di sisi lain, kata dia, justru yang paling krusial adalah penolakan terhadap hasil autopsi. Notabene autopsi itu dilakukan oleh para dokter forensik senior dan profesional dengan disaksikan seorang dokter forensik dari pihak Polri.
"Publik menyaksikan hari ini kejujuran, transparansi, obyektifitas, akuntanbilitas Polri dan BNPT dari kasus Siyono betul-betul diuji pada titik yang sangat kritis," katanya.
Publik sudah lama memendam beragam pertanyaan terkait proyek pemerintah di sektor keamanan yang bernama kontraterorisme dan kontraradikalisme.
Kasus Siyono menjadi momentum bagi publik untuk sedikit melihat tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Siyono merupakan warga Desa Pogung, Klaten, Jawa Tengah yang diduga sebagai teroris.
Ia tewas dalam pemeriksaan Densus 88, Jumat (11/3). Siyono sendiri ditangkap pada Rabu (9/11). Kejanggalan kematian Siyono membuat keluarga memutuskan untuk melakukan autopsi ulang. Keluarga pun meminta bantuan Komnas HAM dan PP Muhammadiyah untuk melakukannya.