REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA -- Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syarif Hidayat berpendapat, pemilihan ketua umum Partai Golkar lebih baik dengan voting terbuka sebagai wujud revitalisasi dan reformasi partai tersebut.
"Jika Golkar ingin benar-benar melakukan revitalisasi dan reformasi partai, maka voting pemilihan ketua umum harus dilakukan secara terbuka," katanya ketika dihubungi dari Nusa Dua, Bali, Minggu, terkait Munaslub Partai Golkar pada 14-16 Mei 2016.
Dia menilai, calon-calon ketua umum yang menolak dilakukan voting terbuka pada pemilihan ketua umum dalam munaslub di Nusa Dua, Bali, tidak memiliki semangat untuk memperbaharui, merevitalisasi dan mereformasi Partai Golkar menjadi partai yang modern.
"Semua calon ketua umum dalam penyampaian visi dan misinya menegaskan bahwa mereka ingin membuat Partai Golkar menjadi partai yang modern dan kuat.Tapi kelihatannya itu hanya slogan karena? mereka hampir semua menolak dilakukan voting terbuka dengan alasan yang tidak masuk akal," katanya.
Calon ketua umum yang menolak voting terbuka dinilai tidak membawa semangat perubahan pada Partai Golkar. Jika ingin disebut sebagai kader mendukung proses demokrasi yang baik, maka seharusnya tidak ada kader termasuk calon ketua umum yang akan menolak usulan voting terbuka.
"Golkar masih belum siap berdemokrasi kalau masih takut pada prinsip-prinsip demokrasi seperti keterbukaan, siap menang, siap kalah dan saling menyingkirkan," katanya.
Selama ini diakuinya Partai Golkar memiliki tradisi memilih calon ketua umum secara tertutup dengan alasan bahwa memilih orang harus dilakukan tertutup, dan bahkan ada yang berani berbicara pemilihan orang secara terbuka, tidak demokratis.
Namun, jika memang ingin membuat Partai Golkar menjadi partai yang modern, maka tradisi-tradisi yang untuk menghidupkan politik transaksional, politik dagang sapi, politik tanpa idealisme atau politik banyak kaki harus dihilangkan.
Dengan voting terbuka, tidak bisa dilakukan politik dagang sapi atau politik transaksional. Para kader yang akan memilih pun berdasaran "deal", tanpa ada perasaan untuk memperjuangkan idealisme dengan calon ketua umum yang akan dipilih. Kader yang memiliki hak suara akan bisa bermain di banyak kaki.
"Jadi kalau mau semua ini dihilangkan maka voting harus dilakukan terbuka," katanya.