REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekda Kepulauan Seribu Sebut Pulau Pari Milik PT. Bumi Raya. Warga Pulau Pari semakin resah karena tanah yang sudah ditempati lebih dari empat generasi diklaim oleh PT. Bumi Raya milik mereka.
Intimidasi, ancaman dan kriminalisasi dilakukan oleh pihak perusahaan ditujukan untuk menekan warga.
"Telah ada warga yang dikriminalisasi terkait sengketa ini yaitu Edy, dituduh menempati tanah yang bukan miliknya dan kasusnya tengah disidangkan di PN Jakarta Utara," kata Puput TD Putra, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta melalui siaran pers pada Jumat (27/5).
Sahrul Hidayat, Ketua FP3 (Forum Peduli Pulau Pari) menambahkan, penderitaan warga oleh surat undangan Sekretaris Daerah (Sekda) Kepulauan Seribu (surat undangan point 19) yang menyatakan Pulau Pari milik PT. Bumi Raya. Menanggapi hal tersebut warga menolak menghadiri undangan tersebut dan melayangkan protes.
Tim Advokasi Walhi Jakarta yang mendampingi kasus warga Pulau Pari menyatakan dengan surat tersebut terbaca jelas bahwa Sekretaris Daerah Kepulauan Seribu tendensius, intimidatif dan mengkondisikan sebagai pesanan. Jelas menunjukkan Sekda telah berpihak kepada perusahaan, padahal secara hukum bukan selaku pemutus sengketa.
Menurut Puput keberadaan warga di pulau tersebut terlebih dahulu kemudian muncul klaim belakangan dari pihak perusahaan, berarti perusahaan harus membuktikan terlebih dahulu. Tindakan Sekda yang menyebutkan Pulau Pari Milik PT. Bumi Raya patut diduga telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, selain itu dapat juga dipandang sebagai kebohongan publik.
Menurut data Forum Peduli Pulau Pari (FP3), warga telah menempati Pulau Pari sejak tahun 1900-an, mereka juga telah membuat secara swadaya dermaga/pelabuhan. Pada tahun 1970 didirikan bangungan Lembaga Oseonografi Nasional (LON) yang sekarang bernama UPT LIPI ( Unit Pelaksana Teknis lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia).
Pada tahun 1989 masuklah PT. Bumi Raya lalu membeli pohon yang ditanam oleh warga, kemudian membeli rumah warga, namun tidak semua warga yang menjual pohon dan rumahnya. Selanjutnya tahun 1990-1993 perusahaan tersebut membeli tanah secara diam-diam tanpa sepengetahuan RT dan RW.
Kemudian pada selang tahun 2013-2016 pihak perusahaan mengajukan pembuatan sertifikat tanah berupa SHM dan SHGB tanpa sepengetahuan pihat RT dan RW. Warga menilai pembuatan sertifikat tersebut cacat hukum dan tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Menurut Sahrul, PT. Bumi Pari Raya, PT. Bumi pari Asri, PT. Bumi Griya Nusa, PT. Bumi Raya adalah perusahaan sama yang selalu bergonta-ganti nama.