REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menentang keras kebijakan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), yang mengedepankan uang-uang 'DP' dan corporate social responsibility (CSR) dalam membangun ibu kota dinilai sangat membahayakan sistem demokrasi.
"Negara akhirnya tunduk kepada segelintir pemilik modal," kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam pesan singkat yang diterima Republika.co.id, Selasa (31/5).
Ia mengatakan buruh baru menyadari, Ahok adalah satu-satunya gubernur yang getol membuat peraturan gubernur tentang larangan tempat aksi-aksi demo buruh dan masyarakat. Iqbal menyebut peraturan tersebut bertujuan membungkam demokrasi.
"Aksi dan demo adalah sesuatu yang sangat dibenci pemilik modal karena menurut mereka mengganggu demokrasi, bahkan buruh merasakan sekali betapa polisi yang diduga atas permintaan Gubernur DKI sangat represif," jelasnya.
Iqbal menduga kriminalisasi terhadap buruh seperti sudah ada pesanan. "Semua kebijakan ini adalah barter para pemilik modal untuk membungkam aksi-aksi damai buruh demi penguasaan modal yang mencengkram negara," ujarnya.
Pemprov DKI, kata dia, bahkan tidak segan-segan menggunakan tentara dan polisi dalam penggusuran yang diduga pembiayaannya dari dana-dana uang uang DP dan CSR. Dana-dana ini dinilainya bisa membahyakan demokrasi negara dan bertentangan dengan UU TNI dan UU Kepolisian.
Iqbal mengatakan buruh jelas dirugikan dengan kebijakan Ahok yang melarang kebebasan aksi buruh. Kerugian ini sudah pasti di luar adanya kebijakan upah murah, penggunaan outsourcing di perusahaan-perusahaan pemberi CSR, tidak ada rusun bagi buruh, dan lainnya.
"Semua ini akibat kebijakan yang dibarter dengan modal bukan menggunakan APBD dalam membangun Jakarta," ujarnya.
Untuk itu, buruh akan mengadakan aksi pada 1 dan 2 Juni di Balai Kota DKI Jakarta pukul 10.00 dan dilanjutkan ke gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pukul 12.00. Tidak menutup kemungkinan demonstrasi akan meluas serta melibatkan unsur masyarakat dan mahasiswa.