REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Bank Dunia mengatakan pertumbuhan ekonomi dunia di 2016 hanya akan mencapai 2,4 persen, turun 0,5 persen dari perkiraan mereka sebelumnya.
Lembaga tersebut mengatakan penting sekali pemerintah di seluruh dunia menjalankan kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan derajat hidup mereka yang hidup dalam kemiskinan parah.
Penurunan perkiraan ini disebabkan karena negara-negara maju mengalami pertumbuhan menengah, sementara rendahnya harga komoditi, lemahnya perdagangan dunia, dan berkurangnya perpindahan dana juga berpengaruh.
"Pertumbuhan ekonomi tetap merupakan hal yang paling penting dalam mengurangi kemiskinan, dan itulah mengapa kami sangat khawatir dengan pertumbuhan yang melambat di negara-negara berkembang yang banyak mengekspor komiditi, karena rendahnya harga komoditi." kata Ekonom Kepala Bank Dunia Prof Jim Yong Kim.
Dalam update terbarunya mengenai Prospek Ekonomi Global, Bank Dunia mengatakan negara berkembang dan negara yang tergantung pada ekspor komoditi kewalahan beradaptasi dengan turunnya harga minyak dan komoditi penting lainnya, sehingga mempengaruhi sebagian perkiraan mereka.
Pertumbuhan di negara-negara ini diperkirakan hanya akan mencapai 0,4 persen, turun dari 1,2 persen yang diperkirakan dalam laporan Januari lalu.
"Investasi terus melemah, dan prospek ekspor memburuk. Meski ada dorongan karena harga minyak yang rendah, dan peningkatkan di pasar tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi di negara maju tidak akan beranjak jauh di tahun 2016" tulis laporan tersebut.
Pertumbuhan di negara yang harus mengimpor komoditi diperkirakan akan sekitar 5,8 persen, turun sedikit dari perkiraan di 2015 sebesar 5,9 persen.
Dalam laporan Januari, Bank Dunia memperkirakan ekonomi dunia akan tumbuh 2,9 persen, dengan mengatakan 'adanya pertumbuhan mengecewakan" di banyak negara berkembang termasuk China dan Brasil.
Cina diperkirakan akan tumbuh 6,7 persen, turun dari tahun lalu 6,9 persen. Pertumbuhan ekonomi India diperkirakan akan tetap seperti tahun lalu yaitu 7,6 persen. Brasil dan Rusia diperkirakan akan tetap mengalami resesi mendalam seperti yang diperkirakan dalam laporan Januari.