REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib menilai pemerintah perlu memiliki mekanisme tanggap darurat dalam menyikapi sebuah kasus penyanderaan terhadap warga negara Indonesia (WNI).
"Pemerintah tampak belum memiliki mekanisme tanggap darurat ketika sebuah kasus penyanderaan terjadi," ujarnya di Jakarta, Senin (27/6).
Seperti diketahui, kelompok bersenjata di Filipina dikabarkan kembali menyandera terhadap tujuh anak buah Kapal TB Charles dari Samarinda saat melintas di Perairan Filipina. Namun, Ridlwan menilai respon pemerintah menghadapi penyandera WNI untuk ketiga kalinya ini, agak berbeda dengan sebelumnya.
"Berbeda dengan dua kasus penyanderaan sebelumnya, respon pemerintah terlihat gagap dan kurang siap terhadap kasus ini," katanya.
Ia menekankan pemerintah melalui Wapres Jusuf Kalla dan Panglima TNI sempat menyangkal adanya penyanderaan. Pemerintah baru bersikap ketika kabar simpang siur terjadi.
"Baru setelah simpang siur, pak Luhut (Menkopolhukam) membuat crisis centre," ucapnya.
Ridlwan menyarankan pemerintah mengevaluasi sistem operasi intelejen pada beberapa lini.
"Kita sempat dipuji dunia internasional ketika sukses membebaskan 14 WNI. Saat ini kita diuji lagi dengan kasus tujuh WNI, maka jangan lengah," ujar alumni S2 Kajian Stratejik Intelijen UI tersebut.
Di sisi lain Ridlwan juga menilai penyanderaan terhadap tujuh WNI cukup janggal karena pihak penyandera kali ini meminta tebusan dalam bentuk ringgit bukan dollar atau peso. Selain itu, kelompok bersenjata juga hanya menawan tujuh orang dan membiarkan kapal beserta enam orang lainnya pulang.