Kamis 14 Jul 2016 21:40 WIB

Pengamat: Revisi UU Terorisme Demi Kepentingan Publik

Pengamat intelijen dan militer Wawan Purwanto.
Foto: Republika/Erik PP
Pengamat intelijen dan militer Wawan Purwanto.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat terorisme Wawan Purwanto mengatakan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sudah tepat dilakukan demi kepentingan publik. Oleh karena itu, ia menilai tidak terlalu elok menekan revisi tersebut dari sudut pandang hak asasi manusia.

"Terorisme itu sendiri sudah masuk ke dalam pelanggaran HAM berat," ujarnya di Jakarta, Kamis (14/7).

Adapun salah satu konsep perubahan dari undang-undang tersebut adalah adanya aturan mengenai kewenangan untuk menangkap mereka yang masih diduga pelaku teror.

Sebab selama ini, pemerintah memandang kepolisian mengalami kesulitan untuk menangkap terduga teroris karena belum memiliki cukup bukti.

Menurutnya langkah itu sudah benar karena para terduga teroris biasanya lihai dalam menyembunyikan barang bukti. Karena itu, sebelum korban berjatuhan dia setuju agar terduga teroris ditangkap.

"Paling tidak, mereka bisa ditangkap ketika masih menyusun rencana teror," katanya.

Sementara Komisioner Komnas HAM Muhammad Nur Khoiron mengatakan pihaknya memahami kesulitan kepolisian jika menyelidiki kasus terorisme melalui koridor KUHAP, apalagi pelaku teror lazimnya terikat dengan jaringan internasional sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk penyelidikan.

Namun, Nur Khoiron menegaskan, hal itu bukan berarti kepolisian bisa semena-mena terhadap pihak-pihak yang masih diduga pelaku teror. "Harus ada jaminan perlindungan bagi terduga teroris dan pemulihan hak-hak korban salah tangkap," ucapnya.

Komnas HAM, lanjut Nur Khoiron, sejatinya selalu mendukung upaya pemerintah untuk memberantas terorisme. Akan tetapi, pemerintah diharapkan tidak hanya fokus pada penindakan, karena pencegahan terorisme juga tidak kalah penting. Pencegahan artinya paham terorisme tidak sampai masuk ke dalam sendi kehidupan masyarakat.

"Karena itu deradikalisasi menjadi penting, khususnya bagi para terpidana kasus teror di dalam penjara. Penting adanya bahwa pencegahan bukan hanya melibatkan aparat bersenjata, melainkan sinergi antarlembaga pemerintah dan kementerian," ujar Nur Khoiron.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْ حَاۤجَّ اِبْرٰهٖمَ فِيْ رَبِّهٖٓ اَنْ اٰتٰىهُ اللّٰهُ الْمُلْكَ ۘ اِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّيَ الَّذِيْ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۙ قَالَ اَنَا۠ اُحْيٖ وَاُمِيْتُ ۗ قَالَ اِبْرٰهٖمُ فَاِنَّ اللّٰهَ يَأْتِيْ بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِيْ كَفَرَ ۗوَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَۚ
Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” dia berkata, “Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.” Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.

(QS. Al-Baqarah ayat 258)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement