REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Kesehatan Nila Moeloek menegaskan, pihak fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) seharusnya membeli obat dan vaksin dari jalur distributor resmi.
Sehingga, dia melanjutkan, fasyankes semestinya mewaspadai penawaran yang dilakukan perusahaan atau oknum yang tak jelas.
“Jadi kalau ada penawaran dari oknum atau seseorang, harusnya (pihak fasyankes) itu sudah menyadari bahwa apakah (vaksin) ini resmi atau tidak,” kata Menteri Nila Moeloek di kantor Kemenkes, Jakarta, Ahad (17/7).
Bagaimanapun, pihak rumah sakit atau klinik bisa saja berposisi bukan sebagai tersangka peredaran vaksin palsu.
Bila terbukti tidak mengetahui adanya unsur palsu dalam vaksin yang dibelinya, menurut Menteri Nila, pihak RS atau klinik menjadi korban penipuan oknum yang menawarkan vaksin palsu itu.
“Tapi walaupun demikian, fasilitas kesehatan tersebut harus berpedoman pada patient safety. Sebenarnya itu,” kata dia.
Di tempat yang sama, Ketua Satgas Penanganan Vaksin Palsu Maura Linda Sitanggang menyebut, ada kemungkinan perlindungan dalam batas membela diri dari pihak RS atau klinik yang disebut memberikan vaksin palsu.
Meski begitu, tegasnya, pembelaan demikian di luar urusan pemerintah ataupun Satgas. Sejauh ini, Kemenkes dan Satgas Penanganan Vaksin Palsu terus melakukan pendataan, verifikasi, dan nantinya memberi imunisasi wajib pengganti kepada para korban.
“Kalau soal back up, itu masalah manajemen. Setiap institusi harus bertanggung jawab. Mereka juga ada back up dari asosiasi dan sebagainya,” ujar Maura Linda Sitanggang.