REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Chris Lee menjadi bertambah yakin atas keputusannya meninggalkan ibu serta saudaranya dan pindah ke Taiwan. Ia berpendapat hal itu merupakan keputusan yang tepat.
Keinginannya untuk pindah dari Hong Kong muncul saat para aktivis mulai membakar tempat sampah dan melemparkan bebatuan ke arah polisi ketika kerusuhan pecah pada Februari di wilayah itu. Hong Kong, yang telah lama dikenal sebagai salah satu kota paling aman dan paling taat hukum di Asia, ternoda oleh semakin banyaknya aksi protes ricuh.
Protes sebagian dipicu oleh ketegangan dengan para pemimpin Partai Komunis di Beijing atas masa depan kota demokratis Cina itu. "Itu bukan hanya politik saja yang berantakan. Itu juga karena orang-orang yang menjadi tidak rasional dan plinplan yang menyebabkan saya pergi," ujar Lee, yang pindah ke Taiwan pada Maret dan membuka sebuah rumah makan.
Lee tidak sendiri. Sekitar 42 persen warga Hong Kong ingin pergi, seperti ditunjukkan sebuah survei yang dilakukan kelompok penasihat Civic Exchange menunjukkan pada Juni. Ini dibandingkan dengan 20 persen orang yang ingin meninggalkan Singapura.
Sebanyak 70 persen dari 1.500 orang yang disurvei mengatakan Hong Kong menjadi lebih buruk atau sangat buruk untuk ditinggali. Kekhawatiran terbesar warga terkait tempat tinggal, kualitas pemerintahan dan pendidikan.
Jumlah warga Hong Kong yang pindah ke Kanada meningkat hampir dua kali lipat dalam kuartal awal tahun ini dibandingkan dengan saat yang sama pada tahun lalu, dan jumlah mereka yang pindah dan menetap di Taiwan naik 36 persen dalam jangka waktu yang sama.
Data terbaru dari Amerika Serikat tercatat pada 2014. Emigrasi ke Inggris menurun, tetapi mereka yang berusaha mendapatkan kewarganegaraan sebagai investor di sana naik dua kali lipat.
Australia tidak memberikan data terkait Hong Kong tetapi menyatakan jumlah emigran dari Cina daratan, Hong Kong, Taiwan, Makau, dan Mongolia naik sedikit dari tahun sebelumnya.