Senin 01 Aug 2016 21:04 WIB

'Kerusuhan Tanjung Balai karena Rendahnya Pemahaman Atas Perbedaan'

Rep: Lintar Satria/ Red: Bayu Hermawan
Kondisi Vihara Tri Ratna yang rusak pascakerusuhan yang terjadi, di Tanjung Balai, Sumatra Utara, Sabtu (30/7). Kerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai pada Jumat (29/7) menyebabkan sejumlah vihara dan kelenteng rusak.
Foto: Antara
Kondisi Vihara Tri Ratna yang rusak pascakerusuhan yang terjadi, di Tanjung Balai, Sumatra Utara, Sabtu (30/7). Kerusuhan yang terjadi di Tanjung Balai pada Jumat (29/7) menyebabkan sejumlah vihara dan kelenteng rusak.

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Antropolog Universitas Indonesia, Sofyan Ansoro menilai kerusuhan massa terjadi di Tanjung Balai, Sumatra Utara, disebabkan tidak ada pemahaman dari masyarakat akan perbedaan. Menurutnya nilai toleransi di Indonesia hanya ada ditataran elit dan belum menyentuh akar rumput.

"Spontanitas itu kan sebenarnya sudah ada yang dalam diri kita kan. Hanya saja tertahan oleh norma-norma toleransi 'kita harus toleran sebagai bangsa Indonesia' menurut saya kita terlalu lama berkutat pada imajinasi toleran. Akarnya enggak pernah disentuh bahwa berbeda itu gak apa apa," katanya kepada Republika.co.id, Senin (1/8).

Sofyan menambahkan sejak awal Indonesia tidak pernah terbentuk dengan pemahaman yang sama. Nilai-nilai toleransi hanya ada ditataran elit. Tidak pernah menyentuh akar rumput. Sofyan menambahkan nilai persatuan dan toleransi diakomodir oleh Bapak Bangsa untuk mencapai cita-cita kemerdekaan.

Kekerasan yang terjadi karena etnisitas dan agama seperti yang terjadi di Tanjung Balai, menurutnya  dapat terjadi lagi dikemudian hari. Karena, lanjutnya, permasalahan kekerasan atas nama etnis dan agama menjadi implikasi dari demokrasi.

"Ini wajah lain dari demokrasi, post reformasi, yang mungkin pada saat itu tidak kepikiran masalah ini akan terjadi," ujarnya.

Menurutnya keluarga menjadi kunci terpenting dalam memberi pemahaman perbedaan. Sebagai agen terkecil, tambah Sofyan, keluarga bisa menjadi pemberi pemahaman baiknya perbedaan.

"Sangat aneh kalau dikasih tahu sejak kecil  tentang supremasi agama dan etniknya tiba-tiba ketika dewasa dipaksa untuk toleran," ucapnya.

Sebelumnya, kerusuhan massa terjadi di Tanjungbalai, Sumatra Utara, pada Jumat (29/7) malam. Sekelompok massa merusak sejumlah vihara, klenteng dan bangunan yayasan sosial, bahkan delapan unit mobil juga dibakar.

Pihak Polres Tanjungbalai bersama aparat TNI, tokoh masyarakat, dan agama setempat mampu mengendalikan situasi keamanan di lokasi kejadian. Pihak kepolisian menetapkan tujuh warga menjadi tersangka karena melakukan pencurian saat kerusuhan berlangsung.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement