REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Turki mulai membebaskan 38 ribu penghuni penjara pada Rabu, yang diduga bertujuan memberi ruang bagi puluhan ribu tahanan yang ditangkap karena diduga terlibat upaya kudeta.
Pemerintah tidak mengungkap alasan dibalik kebijakan tersebut. Namun, penghuni penjara Turki sudah melebihi daya tampung sebelum penangkapan besar-besaran seusai kudeta, yang menewaskan 240 orang.
Dalam kebijakan bertajuk reformasi pidana itu, penghuni penjara dengan sisa masa tahanan kurang dari dua tahun bisa dilepas dengan sejumlah syarat. Di antara yang bisa dilepas dengan pengawasan adalah pelaku terorisme, pembunuhan, dan kejahatan seksual.
"Saya bahagia bisa bebas dari penjara. Saya tidak menduga hal ini. Saya berterimakasih kepada Presiden Tayyip Erdogan," kata penghuni penjara bernama Turgay Aydin sebagaimana dikutip dari kantor berita Anadolu.
Dalam wawancara dengan televisi A Haber, Menteri Kehakiman Bekir Bozdag mengatakan 38 ribu orang akan dilepas dalam tahap pertama, namun 93 ribu tahanan berpotensi menerima keuntungan yang sama dari program ini. Menurut data dari Kementerian Kehakiman, ada setidaknya 213.499 penghuni penjara sampai 16 Agustus atau 26 ribu melebihi kapasitas penjara.
Pada waktu bersamaan pada Rabu, pemerintah Turki juga mengeluarkan dekrit yang memecat 2.360 polisi dan lebih dari 100 tentara. Di sisi lain, dekrit tersebut juga memberi presiden kewenangan memilih kepala angkatan bersenjata.
Erdogan beralasan pengikut Fethullah Gulen, ulama yang dituding sebagai dalang kudeta, telah menginfiltrasi institusi pemerintah untuk menciptakan negara tandingan. Sejauh ini, 40.029 orang ditangkap dalam investigasi terkait kudeta dan 20.355 di antaranya sudah resmi menjadi tahanan, kata Perdana Menteri Binali Yildirim pada Rabu.
Selain itu, hampir 80 ribu orang dipecat dari jabatan publik, mulai dari pegawai negeri, angkatan bersenjata, kepolisian, guru, sampai lembaga hukum. Pemerintah juga menutup paksa 4.262 perusahaan dan institusi yang diduga punya hubungan dengan Gulen.
Dalam menanggapi pembersihan besar-besaran itu, negara Barat menuding Erdogan hanya berupaya menyingkirkan musuh politik, sebuah tudingan yang dapat merusak hubungan dengan anggota kunci NATO dalam memerangi kelompok bersenjata ISIS.
Tudingan itu dibantah dengan keras oleh Turki, yang beralasan mereka membersihkan ancaman internal serius dari pengikut Gulen, yang saat ini berada di Amerika Serikat.