REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim satuan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita sejumlah dokumen terkait perkara dugaan korupsi penerbitan surat keputusan (SK) izin usaha pertambangan (IUP) yang menjerat Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam.
Hal ini didapat setelah tim satgas KPK melakukan serangkaian penggeledahan di sejumlah tempat sejak Selasa (23/8) kemarin. Pelaksana Harian Kabiro Humas KPK, Yuyuk Andriati mengatakan, dokumen yang disita berkaitan dengan izin usaha pertambangan PT Anugrah Harisma Barakah.
"Hasil geledah, dokumen (yang disita) kaitan dengan perkara yaitu penerbitan IUP eksplorasi dan IUP peningkatan ekplorasi jadi produksi PT Anugrah Harisma Barakah tahun 2009-2010," ujar Yuyuk saat dikonfirmasi Republika.co.id, Rabu (24/8).
Menurut Yuyuk, dokumen yang berhubungan dengan perkara lain juga tak luput disita tim KPK. Ia juga menambahkan kemungkinan bertambahnya dokumen yang disita KPK terkait dugaan korupsi tersebut.
Pasalnya hari ini, penyidik KPK juga melakukan pemeriksaan saksi-saksi dari Pemerintahan Provinsi Sultra di Kendari pada Rabu (24/8). "Hari ini penyidik memeriksa saksi-saksi dari Pemerintahan Sultra di Kendari," kata Yuyuk.
Sebelumnya, bersamaan dengan telah resminya KPK menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Nur Alam sebagai tersangka kasus dugaan korupsi izin penerbitan usaha pertambangan di Sultra, KPK juga melakukan serangkaian penggeledahan di sejumlah lokasi yakni di Kendari, Sultra dan Jakarta.
Wakil Ketua KPK, Laode Muhammad Syarif mengatakan sejumlah lokasi tersebut diantaranya Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara di Kendari, Kantor Biro Hukum Pemprov Sultra di Kendari, Kantor Dinas ESDM Provinsi Sultra di Kendari. Selain itu, sejumlah rumah di Kendari yang terkait juga turut digeledah KPK.
"Semua tempat-tempat di atas oleh penyidik KPK, punya hubungan sehingga perlu dilakukan penggeledahan," kata Syarif saat memberi keterangan pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (23/8).
Selain itu, Syarif menyebut sejumlah lokasi di Jakarta yang tak luput dalam penggeledahan KPK, yakni kantor di kawasan Pluit, rumah di kawasan Bambu Apus, Jakarta Timur dan rumah di Patra Kuningan, Jakarta Selatan.
KPK menyebut penyelidikan terhadap dugaan korupsi yang menjerat Nur Alam ini telah dilakukan secara intensif selama setahun terakhir. Hasilnya, Nur Alam diduga melakukan perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi lantaran mengeluarkan sejumlah SK terkait pertambangan yang tak sesuai aturan.
Di antaranya, SK persetujuan pencadangan wilayah pertambangan eksplorasi, SK persetujuan izin usaha pertambangan, eksplorasi dan SK persetujuan peningkatan izin usaha pertambangan ekslorasi menjadi izin usaha pertambangan operasi produksi kepada PT AHB (Anugerah Harisma Barakah), selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.
"SK diduga tidak sesuai dengan aturan yang berlaku," ujar Syarif.
Atas perbuatannya tersebut, NA disangkakan melanggar pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana mana diubah dengan UU nomor 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.