Pembakaran sejumlah wihara dan kelenteng di Tanjung Balai, Sumatra Utara, beberapa waktu lalu, menambah corengan atas kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Peristiwa itu juga menggarisbawahi masih rentannya hubungan antaretnis. Apa yang sejatinya terjadi saat itu? Wartawati Republika.co.id, Issha Harruma menelusuri kembali kejadian tersebut dan menuliskannya.
REPUBLIKA.CO.ID, Warung milik Kasini berukuran sekitar 2,5 kali 2,5 meter. Terletak di pinggir Jalan Karya, Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Kecamatan Tanjung Balai Selatan. Di warung ini, Kasini yang biasa disapa Uwok menjual penganan, minuman, dan keperluan rumah tangga. Perempuan berdarah Melayu ini menjadikan warung kecilnya sebagai sumber pemasukan. Berbagai jenis kue berbaris rapi di dalam kotak kecil di atas rak kaca di depannya. Ada lemari pendingin dengan aneka minuman yang disusun rapi di dekat rak.
Jalan Karya juga bukan jalan yang sepi. Seperti juga Tanjung Balai, sekira 189 kilometer dari Medan, yang memiliki salah satu pintu masuk dari Port Klang, Malaysia, ke Indonesia.
Kasini tinggal bersama suami dan anak-anaknya. Letak warung yang tersambung dengan rumahnya itu berimpitan dengan rumah lain di sebelah kanan dan kirinya. Kasini bertetangga dengan rumah adiknya, Hermayanti, yang dihuni bersama sang ayah.
Saat ditemui Republika.co.id, dua pekan lalu, Uwok mengingat kembali soal Meliana, salah seorang tetangga dekatnya yang datang ke warung miliknya, awal Juli kemarin. Uwok tak ingat pasti tanggal berapa kejadian ini. Rumah Meliana dan warung Kasini hanya berselang tiga rumah, dan dipisahkan jalan aspal selebar lima meter.
Meliana sering kali menitipkan rumahnya kepada Uwok. Ini dilakukan saat Meliana dan keluarganya pergi ke Medan. Suami Meliana, Liam Tiu, pun sering duduk-duduk santai di warung Kasini kala siang hari. "Panas di rumah, Kak," kata Liam seperti dikenang Uwok.
Meliana kerap membeli berbagai kebutuhan di warung milik Uwok. Setelah membeli keperluan, dia langsung pulang. Tak banyak cakap dengan Kasini.
Namun kali ini, perempuan berusia 41 tahun itu tampaknya begitu ingin menyampaikan apa yang ada di benaknya. "Kak, beli inilah," kata Meliana saat baru memasuki warung ketika itu. Suara Meliana yang sedikit beratnya membuat Uwok mendongakkan kepala. Beberapa kue kecil yang terpajang di atas rak kemudian dia ambil. Perempuan setengah baya ini merupakan pembelinya yang kesekian pagi itu.
"Kak, tolong bilangkan sama Wak (ayah Uwok--Red), kecilkanlah volume masjid itu. Ribut kali. Bising, sakit kupingku," ujar Meliana, seingat Uwok. Kalimat ini membuat Uwok tersentak.
Rumah Meliana dan keluarga memang tepat berada di depan Masjid al-Makshum. Meliana menghuni rumah bernomor 32 itu sudah sekitar delapan tahun terakhir. Di rumah berpagar biru dengan kusen berwarna senada itu, Meliana tinggal bersama suami dan sepasang anaknya yang masih duduk di bangku SMA dan telah tamat SMA. Dua anaknya yang lain pergi merantau ke Kota Medan.
Sesaat begitu mendengar permintaan Meliana, napas Uwok tertahan. Sejak lahir 1968 silam, belum pernah Uwok mendengar keluhan yang terus terang seperti itu. Tetangga-tetangga beretnis Tionghoa dan lain agama belum pernah menunjukkan protes mereka terhadap masjid, apalagi umat Islam di lingkungan Jalan Karya ini.
Meski sedikit merasa kesal, emosi itu tak Uwok tampakkan. Dia menyahut dengan tenang. Dengan intonasi biasa, perempuan kelahiran Tanjung Balai itu berucap akan menyampaikan pesan tersebut kepada bapaknya. "Ya nanti kusampaikanlah."
Uwok lalu mengalihkan perhatiannya ke lembar demi lembar seribuan rupiah yang diberikan Meliana. Ia memasukkan uang itu ke kaleng. Tak ada niat di benak Uwok untuk memperpanjang percakapan pada pagi hari itu.
Menjelang hari berakhir, anak Uwok, Yani, menutup warung kecil milik mereka. Kegelisahan Uwok akan kalimat Meliana, dia pendam sendiri. Aktivitasnya berjalan seperti biasa hingga esok hari kembali tiba. Uwok pun kembali membuka lembar-lembar kayu penutup warungnya.
Seperti hari biasanya, dia kembali duduk di bangku yang selalu berada di balik rak kecil. Bagaimanapun, pesan Meliana tak pernah bisa lepas dari pikirannya yang berkecamuk. Banyak hal menjadi pertimbangannya. Jika disampaikan kepada bapaknya, Kasidik, bukan tak mungkin, keluhan Meliana akan berbuntut panjang.
'Itu Kan Ayat-Ayat Tuhan, Kenapa Kau Pekak?'
Dalam kesehariannya, Kasidik (70 tahun) merupakan nazir alias pengurus Masjid al-Makshum di Jalan Karya, Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Kecamatan Tanjung Balai Selatan, Tanjung Balai. Masjid yang tak sebegitu besar itu berselang tiga rumah dari rumahnya. Kasidik bertugas membersihkan dan mengurusi masjid setiap harinya.
Anak perempuannya, Kasini (48 tahun), berjualan tak jauh dari rumah Kasidik. Beberapa waktu lalu, Uwok, sapaan akrab Kasini, menerima keluhan dari seorang tetangga dekatnya, Meliana, soal suara dari masjid yang terlampau keras. Setelah lama memendam pesan Meliana, Uwok akhirnya memutuskan untuk bercerita ke adiknya, Hermayanti, yang serumah dengan sang bapak.
Disampaikannya keresahan yang dia rasakan. "Cemana (bagaimana) lah itu," kata Uwok kepada Yanti dengan nada rendah, seperti diceritakan Uwok kepada Republika.co.id. Mendengar cerita kakaknya, Yanti merasakan yang sama. Tebersit di pikiran mereka untuk tidak menyampaikan pesan tersebut. Namun, amanah tetaplah amanah. "Sampaikan sajalah," kata Uwok.
Pada akhirnya, keluhan Meliana itu sampai ke telinga Kasidik. Jumat, 29 Juli 2016, selepas Ashar, seperti biasa, para pengurus berkumpul di Masjid al-Makshum. Sembari duduk santai, obrolan ringan seperti urusan masjid, mereka perbincangkan. Sejumlah pengurus masjid yang lain tampak duduk memperhatikan. Salah satu yang hadir dalam majelis itu adalah Kepala Lingkungan (Kepling) II, Rifai. Kepling adalah sebutan untuk jabatan setara ketua RT di wilayah tersebut.
Kepling II menceritakan kepada Republika.co.id, saat itu Kasidik terlihat mantap ingin menyampaikan sesuatu. Kepada para pengurus yang tergabung dalam badan kemakmuran masjid (BKM), Kasidik menyampaikan seluruh pesan Meliana dengan utuh, tak ditambah atau dikurangi. "Nah, jadi cemitu (seperti itu) lah," ujar dia menuntaskan protes dari Meliana seraya meminta pendapat.
Para pengurus pun berunding. Diskusi itu berkhir dengan keputusan mengonfirmasi langsung ke penyampai protes.
Seusai shalat Maghrib, mereka ke rumah Meliana. Empat pengurus masjid menyeberangi jalan dan membuka pagar rumah Meliana. Sengaja mereka tak datang beramai-ramai untuk menghindari perhatian warga. Apalagi, Jalan Karya merupakan jalur utama yang biasa digunakan warga untuk berlalu lalang. Mereka ingin menanyakan kebenaran dan maksud pesan yang disampaikan Meliana.
Rifai mengenang, pintu rumah diketuk perlahan oleh Haris Tua Marpaung, imam shalat Maghrib saat itu. Lobe, begitu Haris biasa disapa, berdiri paling dekat dengan daun pintu di depan mereka. Tak lama berselang, seorang anak laki-laki berusia belasan tahun membuka pintu kediamannya. Di depan daun pintu berwarna biru muda itu, dia mendapati sejumlah orang bersarung dan beberapa berjubah putih dengan kopiah di kepala mereka.
Sang remaja langsung memanggil orang tuanya. Dengan mengenakan baju rumahan tak berlengan, perempuan berambut hitam lurus kemudian ikut menjumpai para pengurus masjid yang datang.
"Benarnya kamu bilang kecilkan suara masjid ini sama Kakak itu (Uwok)?" tanya Lobe petang itu.
"Memang bising, terlalu kuat," kata anak Meliana.
"Iya, itu terlalu kuat, pekak kuping kami dengarnya," kata Meliana menyambut.
Percakapan itu berlangsung di depan pintu rumah, bukan di dalam rumah. Akhirnya, warga yang sedang lewat pun penasaran melihat sekumpulan orang, yang di antaranya mengeluarkan suara-suara berintonasi tinggi. Mereka ikut 'singgah' untuk mengetahui yang terjadi.
Dalam waktu yang tak terlalu lama, halaman rumah Meliana ramai dengan puluhan warga. Mereka yang tak tertampung berdiri di luar pagar rumah dan mengganggu lalu lintas Jalan Karya.
Tak ingin warga terus berdatangan, Lobe sedikit merendahkan suaranya. "Itu kan ayat-ayat Tuhan, kenapa kamu pekak. Kita kan sama-sama punya agama," katanya. "Kami umat Islam kalau sebelum shalat memang ada ngaji, ada azan." Meliana ternyata belum memahami hal tersebut.
Saat itu, di balik keramaian di depan rumah Meliana, sejumlah pengurus masjid yang lain tampak duduk memperhatikan. Mereka memang sebagian lebih memilih untuk tetap berada di masjid, menunggu kepulangan rekan pengurus mereka yang lain.
Pada saat bersamaan, di salah satu rumah, "Cok (coba) tengok rame-rame tuh, Bu." Yang berkomentar adalah Yani, anak perempuan Uwok. Ia yang awalnya hanya melongok dari dalam, kemudian bergegas ke luar dari warung kecil berjarak tiga rumah dari bagian kiri Masjid al-Makshum. Masih enggan meninggalkan kedai yang sedang ia jaga.
Sementara di sudut ruangan rumah itu, ihwal keramaian ini telah terdengar ke telinga sang ibu, Uwok. Dia terdiam ketakutan. Badan dan lututnya langsung lemas. Aktivitas melipat surat-surat yang dia kerjakan sebelumnya langsung ditinggalkan. Dia terus mendengarkan laporan langsung dari Yani.
Di depan pintu rumah Meliana, para pengurus masjid akhirnya memutuskan untuk kembali dan menemui rekan-rekan mereka yang masih menunggu di teras masjid. Mengantisipasi warga yang terus ramai berdatangan, mereka segera meninggalkan rumah bercat putih itu. Pembahasan antarpengurus berlangsung seru. Sebagian dari mereka tak menyembunyikan kekesalannya.
Diskusi terhenti. Perhatian mereka tiba-tiba kompak tertuju ke arah pagar masjid. Suami Meliana datang. "Pak, minta maaflah. Istriku tadi salah ngomong," kata Liam Tiu. Perdebatan singkat sempat terjadi. Namun, akhirnya, para pengurus masjid melihat niat tulus Liam dan sepakat untuk tidak memperpanjang masalah.
Selepas shalat Isya, Lurah Tanjung Balai Kota I Edy Mulyani memanggil Kepling II Rifai, Kepling I Fakhrur Razman, dan sejumlah orang yang terlibat. Atas perintah lurah, Meliana dan suaminya pun diminta datang ke kantor lurah untuk menyampaikan permintaan maaf.
Rifai kemudian mengumpulkan jamaah dan pengurus masjid, kepling rumah Meliana, Fakhrur Razman, Babinsa, dan Babinkamtibmas di kantor lurah seusai shalat. Lurah meminta Meliana untuk menandatangani perjanjian yang berisi permintaan maaf. Perempuan itu menyetujuinya. Belakangan, ia menuturkan sama sekali tak paham kalau keberatannya bisa sebegitu membuat pihak lain tersinggung.
Selain permintaan maaf, dengan mempertimbangkan kondisi di depan rumahnya yang semakin ramai, Edy juga meminta Meliana meninggalkan kediamannya sementara waktu. Edy menyatakan, ia tak bisa menjamin keselamatan Meliana dengan isu yang berkembang saat itu.
Pesan-Pesan Liar yang Bergerak lekas
Suasana di Kantor Kelurahan Tanjung Balai Kota I, Kecamatan Tanjung Balai Selatan, malam hari 29 Juli 2016, ramai dipenuhi warga. Mereka berkerumun di depan kantor. Aduan soal protes Meliana, seorang perempuan paruh baya beretnis Tionghoa atas suara keras dari Masjid al-Makshum di Jalan Karya, Lingkungan II, Kelurahan Tanjung Balai Kota I, jadi penyebabnya.
Pihak pengurus masjid, pejabat kelurahan, dan warga sekitar sedianya sudah sepakat tak memperpanjang masalah. Kepala Lingkungan II Rifai mengingat, Meliana (48 tahun) dan suaminya, Liam Tiu, juga sudah menyatakan penyesalan dan bersedia meminta maaf secara tertulis.
Meski begitu, di sela-sela perundingan, suasana di luar kantor kelurahan semakin ramai. Tiba-tiba, menurut Rifai, seorang laki-laki datang masuk. "Yang mana orangnya!? yang mana?" ujar pemuda itu. Begitu melihat Liam Tiu, dia langsung bergerak menuju lelaki berusia 51 tahun itu. Tangannya terkepal dan telah bersiap untuk memukul Liam Tiu. Suasana menjadi mencekam dan panas.
"Sudah, dibawa saja ke Polsek, Pak," kata Lurah Tanjung Balai Kota I, Edy Mulyani, kepada semua yang ada di ruangan tersebut. Pasangan itu kemudian diboyong ke Polsek Tanjung Balai Selatan berikut pengurus masjid. Tujuannya, menjaga keamanan mereka, melakukan mediasi, dan menyelesaikan permasalahan tersebut hingga tuntas. Sementara dua anaknya yang berada di rumah, dijemput salah seorang tetangga ke rumah mereka.
Sayangnya, permasalahan ternyata tak berhenti di sana. Meski permintaan maaf telah diterima pemuka masyarakat, massa yang semakin ramai berkumpul di depan rumah Meliana kian tak terkendali. Massa ini diketahui bukan hanya warga Jalan Karya. Mereka datang dari berbagai wilayah di Tanjung Balai setelah menerima informasi entah dari siapa. Sebagian besar merupakan pemuda.
Menurut para saksi mata yang ditemui Republika.co.id, mereka inilah yang mulanya melempari rumah Meliana dengan batu. Informasi terus berkembang liar malam itu di Tanjung Balai. Meluas melalui berbagai medium dan jejaring sosial. Sekitar kurang dari pukul 22.00 WIB, para perusuh dari luar wilayah mulai menyulut api di teras rumah Meliana. Mereka tak tahu, di sebelah rumahnya, terdapat ratusan tabung gas yang siap meledak. Rumah yang dihuni Hamlek Kien Tjoan tersebut merupakan pangkalan gas elpiji 3 kg.
Melihat api dinyalakan, warga sekitar langsung berteriak. "Oi! Ada gas itu!" Beruntung, api yang membakar teras rumah Meliana belum membesar, dan bisa langsung dipadamkan warga tempatan.
Namun, keramaian terus menular dengan lekas ke sejumlah tempat lainnya. Massa dalam waktu singkat sudah terpusat pada tempat-tempat peribadatan umat Buddha dan Konghucu. Mereka tersebar di delapan titik. Layaknya dikomandoi, massa terlihat bersiap di masing-masing posisi.
Menjelang tengah malam, ribuan massa bergerak serempak. Mereka merusak wihara, kelenteng, dan rumah yayasan sosial kemalangan yang berada di tempat berbeda. Beberapa di antara para perusak juga menyulut api. Wihara Tri Ratna di Jalan Asahan, Kelurahan Indra Sakti, Tanjung Balai Selatan, menjadi salah satu lokasi tindak perusakan paling banyak terjadi.
Massa menyerbu masuk ke dalam tempat ibadah tersebut. Berbagai benda yang mereka jumpai, dibanting dan dipecahkan. Sejumlah bus dan kendaraan di lokasi ini pun ikut dibakar. Massa sempat merusuh selama sekitar setengah jam, sebelum akhirnya dibubarkan personel dari Polres Asahan dan Subden 3 Detasemen B Satuan Brimob Polda Sumut. Para personel dari markas yang berkedudukan di Tanjung Balai itu datang, dengan motor trail dan truk pengendali massa.
Senjata laras panjang tergantung di pundak mereka. Tembakan peringatan berkali-kali dilepaskan ke udara. Massa berlarian meninggalkan tempat peribadatan yang mereka rusak.
Sabtu, 30 Juli 2016, sekitar pukul 04.30 WIB, kerusuhan mereda. Di antara para perusuh di pusat Kota Tanjung Balai, yang berasal dari Jalan Karya, bisa dibilang tak ada. Keterlibatan mereka tuntas hanya sampai di sekitar rumah Meliana dan Masjid al-Makshum. Dari 21 tersangka yang ditangkap polisi, tak ada satu pun yang berasal dari Kelurahan Tanjung Balai I.
Banyaknya warga yang berasal dari berbagai daerah ini menunjukkan, penyebaran informasi yang begitu cepat. Polisi menduga penyebaran ini melalui pesan singkat, juga media sosial.
Satu di antara 21 tersangka yang diamankan pada Selasa (2/8) pagi, memang merupakan tersangka penyebar ujaran kebencian melalui Facebook. Dia diringkus di kediamannya di Jagakarsa, Jakarta Selatan. Namun, tersangka berinisial AT (41) itu menuliskan ujaran kebenciannya terkait Tanjung Balai pada Ahad (31/7) lalu, sehari selepas kerusuhan terjadi.
Sebanyak 21 tersangka yang telah diamankan polisi, terdiri atas delapan pelaku penjarahan saat kerusuhan terjadi, sembilan tersangka perusakan, dan empat tersangka provokator saat kerusuhan. Tujuh di antaranya masih di bawah umur sehingga tidak ditahan dan dikembalikan kepada masing-masing orang tua. Penangguhan penahanan juga dilakukan kepada 12 tersangka pencurian dan perusakan. Dua tersangka provokator yang membakar massa dengan orasi berinsial BH dan A juga ditahan.
Pada Sabtu (30/7) pagi, di sela-sela penjagaan ketat para personel gabungan Polri-TNI, Pek Tjong Lie, Ketua Yayasan Wihara Tri Ratna, mendatangi tempat ia biasa beribadah dengan perasaan terkejut. Ia menyaksikan tempatnya biasa memuja para dewa hancur berantakan. "Kok bisa begini?" katanya membatin. Ia tak habis pikir dan kehabisan kata-kata.
Selama 50 tahun hidup di Tanjung Balai, Tjong Lie belum pernah melihat gesekan antarumat beragama yang sebegitu tajam. Apalagi, sebagian besar masyarakat etnis Tionghoa lahir dan besar di kota kerang tersebut. Di mata Pek Tjong Lie, semuanya terlihat baik-baik saja selama ini.
'Kita Harus Naik Sama-Sama'
Sinar matahari baru mulai memunculkan warna jingganya ketika dua daun pintu besi berwarna biru terbuka di sebuah rumah di pinggir Jalan Karya, Tanjung Balai Kota I, Tanjung Balai Selatan. Sebuah tiang bambu lengkap dengan bendera merah putih tampak tertancap di depan rumah itu.
Ketika rumah itu disambangi Republika.co.id, seorang laki-laki paruh baya bercelana pendek tampak di balik daun pintu. Ratusan tabung elpiji berbagai ukuran berjejer di dalam rumah. Perlahan, lelaki yang bernama Hamlek Kien Tjoa itu merapikan tabung-tabung.
Sesekali suara klakson sepeda motor terdengar menyapanya. "Oi!" dengan lugas Hamlek mengangkat tangan kanannya sembari tersenyum. Ketika selesai berberes, Cuan, begitu biasa dia disapa, mengambil bangku plastik dan duduk di dekat daun pintu. Menunggu pelanggan, menjemput rezeki.
Tak lama, Cuan kedatangan dua tamu yang merupakan tetangganya. Tampilan fisik dan logat bicara kedua orang itu tak sama dengan Cuan. Mereka merupakan keturunan Melayu Tanjung Balai, sedangkan Cuan seorang Tionghoa. Obrolan tetap mengalir lancar diselingi tawa dan deru kendaraan yang lalu lalang. Perusakan beberapa rumah ibadah umat Buddha yang terjadi di lingkungan mereka menjadi topik pembicaraan.
Rabu (10/8) itu tepat 12 hari pascaterjadinya kericuhan yang merusak sejumlah wihara, kelenteng, dan rumah yayasan di Tanjung Balai. Kerusuhan yang mulanya bisa dirunut dari keluhan seorang perempuan beretnis Tionghoa bernama Meliana kepada tetangganya Kasini, seorang perempuan Melayu, tentang suara dari Masjid al-Makshum di Jalan Karya. Meski permintaan maaf Meliana sudah diterima warga sekitar, massa dari luar wilayah tetap beringas. Ribuan massa merusak sejumlah wihara, kelenteng, dan rumah yayasan sosial kemalangan di seantero Tanjung Balai.
Selama 51 tahun hidup di Tanjung Balai, Cuan tidak pernah menganggap dirinya berbeda. Dia merasa tetap warga negara Indonesia. Tetap orang Tanjung Balai. Hampir 24 tahun bermukim di Jalan Karya, dia mencoba hidup berbaur dengan warga dari etnis lain. Rumahnya yang bercat putih itu berjarak sekitar 15 meter dari Masjid al-Makshum, selang satu rumah di sebelah kiri rumah Meliana.
Di sela obrolan dengan para tamu, mata Cuan tertuju ke arah muka rumah. Seorang perempuan tampak menyeberang menuju arahnya. "Belilah satu, Pak Cuan," kata Uwok, sapaan akrab Kasini, orang pertama yang mendengar keluhan Meliana. Bahan bakar kompornya siang itu menipis. Mereka berbincang sekejap selepas bertransaksi. "Makasih, ya," ujar Uwok menutup pembicaraan sembari tersenyum kecil, seperti tak terjadi apa-apa beberapa waktu lalu.
"Orang itu bagus, kita pun bagus. Orang itu kan menjaga juga karena selama ini kita telah jadi saudara. Satu kampung ini sudah saudara kita sendiri," kata Cuan kepada Republika.co.id selepas melayani Uwok. Dia mengklaim tidak setuju dengan keluhan Meliana. "Tapi maunya janganlah dibakar wihara, kelenteng itu. Karena satu orang saja yang melakukan itu. Kan nggak ada sangkut pautnya dengan yang lain. Mau kita bakar pun tidak ada gunanya dan tak ada hubungannya," kata Cuan menyambung pembicaraan.
Di tempat berbeda, salah satu tokoh Tionghoa, Andi Asmara, berpikiran sama dengan Cuan. Di matanya, kehidupan bermasyarakat di Tanjung Balai masih tergolong harmonis. Seperti Cuan, ketua Persatuan Seluruh Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Tanjung Balai ini mengklaim tak pernah berpikir untuk mengeksklusifkan diri. Sayangnya, ia mengakui, tak semua berlaku seperti itu, terlebih dari etnisnya.
Sebagai tokoh masyarakat setempat, Arifin Marpaung paham betul, Tanjung Balai dihuni oleh suku, adat, dan ras yang beragam. Pria 74 tahun yang sempat menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD di tahun 1985, merunut sejarah hari lahir Tanjung Balai hingga ke Aceh. Hari wafat Sultan Iskandar Muda, salah satu raja paling berpengaruh di kerajaan Aceh, yakni 27 Desember 1620 kemudian ditetapkan sebagai hari lahir sebagai penghargaan atas jasanya menemukan kota ini.
Orang-orang Melayu yang mula-mula menghuni kota yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Asahan ini. Melayu, menurut Arifin, bukan hanya soal keturunan secara genetis. Orang batak dan suku lain yang ada, menurutnya, bisa digolongkan sebagai orang Melayu jika mereka menjalankan adat itu dan beragama Islam. Ia juga merupakan keturunan Batak tetapi kemudian dipercaya menjadi ketua Dewan Pertimbangan Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia di Tanjung Balai.
Sedangkan etnis Tionghoa mulai masuk ke Tanjung Balai pada tahun 1800-an. Hingga Juni 2016, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Tanjung Balai mencatat, dari 185.374 total warga kota ini, ada 157.303 jiwa umat Islam. Angka ini menempati tempat tertinggi, disusul Nasrani 15.024 jiwa dan Buddha 11.471 jiwa.
Dalam perkembangannya, masyarakat etnis Tionghoa banyak yang menggantungkan hidupnya dari berdagang. Kehidupan mereka terus meningkat dan menguasai perekonomian Tanjung Balai. Sementara warga etnis tempatan lainnya tak sebegitu lekas bergerak maju. Ada ketimpangan di situ. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), rasio Gini Tanjung Balai pada 2015 tercatat senilai 0,36 poin. Ia menunjukkan ketimpangan terparah di Sumatra Utara setelah Tebing Tinggi (0,39) dan Medan (0,37).
Arifin juga menggambarkan hal ini melalui tingkat pendidikan. Dari 185.374 penduduk Tanjung Balai per Juni 2016, pendidikan yang dikecap oleh sebagian besar masyarakat adalah SMA, yakni 44.737 jiwa. Mereka yang hanya lulus SD berada di bawahnya dengan angka 42.489 jiwa, tidak atau belum sekolah 36.557 jiwa, dan yang menikmati pendidikan hingga D-4/S-1 hanya 4.583 jiwa. Rendahnya pendidikan warga Tanjung Balai yang sebagian besar pribumi ini, menurut Arifin, membuat mereka sulit mendapat pekerjaan yang layak dan mampu mengangkat perekonomian.
Dalam pengamatan Arifin, keeksklusifan dan kesenjangan menjadi menjadi semacam api dalam sekam di Tanjung Balai. Selain pembakaran wihara bulan lalu, ia ingat sempat juga terjadi ketegangan menyusul pembangunan patung Buddha Amitabha di Wihara Tri Ratna pada 2011. Patung setinggi enam meter ini berdiri megah menghadap Sungai Asahan di lantai empat wihara itu. Muslim yang bermukim di seberang Sungai Asahan, tepatnya di Desa Sei Nangka dan Jawi-jawi, secara tidak langsung menghadap patung tersebut saat menjalankan shalat.
Artinya, Arifin menyimpulkan, upaya membuat Tanjung Balai lebih rukun adalah jalan dua arah. Ia membutuhkan upaya keras etnis Tionghoa untuk berbaur dan upaya yang tak kalah kerasnya dari etnis lainnya meningkatkan taraf kehidupan mereka. “Jika tak seimbang, kalau yang satu naik, satu pasti turun. Kita harus kuat biar sama-sama naik," ujarnya.
Secara bergotong royong, selama beberapa hari selepas pembakaran, masyarakat lintas agama mulai membersihkan tempat peribadatan yang dirusak. Mereka yang berjilbab dan berkopiah terlihat bersama-sama dengan umat Buddha membereskan puing-puing keramik yang pecah berantakan.
Obrolan-obrolan ringan terdengar dari setiap sudut kompleks wihara dan kelenteng. Tak tampak gerombolan kelompok-kelompok tertentu di sana. Semuanya bekerja dan berkeringat. Mereka semua ingin wihara dan kelenteng yang dirusak dapat digunakan beribadah secepatnya.
Ia adalah pemandangan ideal Tanjung Balai, saat semua etnis dari berbagai agama bergandengan tangan membangun yang rusak dan belum beres. Berbarengan mencoba memadamkan api yang sudah telanjur menyala di Tanjung Balai. n