Senin 05 Sep 2016 17:17 WIB

Guru Beri Nilai Nol untuk Siswi Olimpiade Dianggap Melanggar UU

Rep: Umi Nur Fadilah/ Red: Bilal Ramadhan
Rapor siswa (ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Rapor siswa (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti menilai, pemberian nilai nol pada mata pelajaran matematika di rapor kenaikan milik pelajar SMAN 4 Bandung, DP, menyalahi peraturan perundangan.

"Memberi nol dan tidak memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperbaiki, melengkapi, dan menyusulkan tugas dapat dikategorikan melanggar peraturan dan perundang-undangan," kata dia dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Senin (5/9).

Retno mengatakan, melihat keaktifan siswa dari kecepatan mengumpulkan tugas akademik, merupakan salah satu dari empat komponen pemberian nilai oleh guru. Ia berujar, masih ada tiga kempetensi untuk menentukan nilai, yakni sosial, pedagogik, dan kepribadian. Ketentuan itu, tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 pasal 10.

Pertama, Retno menjabarkan, guru tidak memahami dan salah tafsir kurikulum 2013 yang mewajibkan memproses, menganalisis penilaian kepada siswa secara portofolio. Dengan melihat dan memperhatikan siswa sebagai individu dan pribadi yang unik berbeda dengan satu dengan yang lainnya.

Keadaan siswa yang sedang menderita sakit dan memerlukan perawatan dokter, serta keikutsertaan menjadi peserta olimpiade biologi, seharusnya menjadi indikator adanya pertimbangan fleksibel kemudahan dan rasa maklum pengumpulan tugasnya dapat disusulkan.

"Pendidik sebagai ujung tombak pelaksana kurikulum dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional dalam bentuk mencerdaskan peserta didik telah lari dari relnya," ujar Retno.

Kedua, ia melanjutkan, guru berkewajiban memiliki kompetensi dan mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional sesuai UU Nomor 14 Tahun 2005 pasal 8 yang menyatakan, guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani serta mampu meujudkan tujuan pendidikan nasional.

Menututnya, ketidak mampuan guru menjalankan tuntutan kurikulum adalah persolan besar, serius, dan menjadi perhatian publik. Karena yang bersangkutan bukan saja melanggar undang-undang guru dan dosen, tetapi juga nyata melanggar undang-undang sisdiknas.

Ketiga, Retno berujar, UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 pasal 12, mengatur kewajiban sekolah memfasilitasi kebutuhan peserta didik demi tercapainya penyaluran minat, bakat, dan kemampuan.

Sehingga menurutnya, memohon pemberian kesempatan untuk dapat melengkapi dan menyempurnakan tugas secara susulan, adalah bagian dari penyaluran dan pengembangan kompetensi dan kreativitas siswa.

"Tidak memberi kesempatan kepada siswa mengumpulkan tugas secara susulan sangat berpotensi mematikan kreativitas siswa," jelasnya.

Keempat, Retno mengatakan, mematikan kreativitas siswa, pemberian nilai nol, dan menolak beri kesempatan mengumpulkan tugas adalah faktor utama penyebab dan pendorong siswa diputuskan tidak naik kelas oleh SMAN 4 Bandung pada tahun pelajaran 2015/2016.

Ia menyebut, kesalahan proses pelayanan, sistem pengolahan nilai yang berdampak munculnya nilai nol yang berujung pada kesalahan mengambil keputusan tinggal kelas, termasuk perbuatan melanggar hukum dan kode etik guru.

Kelima, ia menegaskan, mengingat adanya bukti perlakuan kepada siswa yang didahului dengan penolakan beri kesempatan menyempurnakan tugas, adanya pemberian nilai nol, dan berakibat siswa tidak naik kelas, maka ditinjau dari hubungan sebab akibat, telah layak diselesaikan melalui proses hukum, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara, Pidana, dan Perdata.

Tuntutan pelanggaran yang dapat diajukan, ia merinci, seperti, pelanggaran kewajiban dalam menjalankan tugas profesi guru yang diatur pada UU Nomor 14 Tahun 2005 pasal 20.

Keenam, ia mengingatkan, memahami dan memaklumi siswa yang kurang berdaya karena sedang ditimpa penyakit dengan cara memberi kesempatan dan kemudahan mengumpulkan tugas, adalah kebiasaan yang sudah lahir, terpelihara, dan hidup bertahun-tahun.

Sehingga dapat diterima oleh bangsa Indonesia sebagai hukum tidak tertulis, nilai dan etika yang diakui oleh masyarakat. IA menyebut, acuan tersebut diatur pada UU Nomor 14 Tahun 2005 pasal 20 yang berbunyi, guru dalam menjalankan tugas profesionalnya wajib menjunjung tinggi hukum, peraturan perundang-undangan, etika, moral, dan nilai-nilai yang sudah diterima oleh masyarakat.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement