REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai beberapa hari ini publik diperlihatkan dengan berbagai peristiwa yang bukan hanya mencoreng komitmen Presiden Joko Widodo untuk penegakan hukum dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, namun juga mengusik rasa keadilan bagi publik.
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dikeluarkan oleh Kepolisian Daerah dengan berbagai alasan, antara lain tidak cukup bukti. Namun di ruang yang lain, penangkapan besar-besaran dilakukan terhadap masyarakat kecil, seakan tidak ada kompromi. Lemahnya wibawa negara di hadapan korporasi juga ditunjukkan dengan peristiwa penyanderaan petugas KLHK dan penghalangan sidak Badan Restorasi Gambut.
Walhi menilai bahwa dari hulu hingga hilir, korporasi melakukan berbagai tindak kejahatan, baik kejahatan lingkungan maupun kejahatan kemanusiaan. Di hulu, di berbagai kasus yang diadvokasi oleh Walhi, korupsi dilakukan untuk mendapatkan izin.
Dalam analisa yang Walhi lakukan bersama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya menemukan, berbagai bentuk modus operandi kejahatan korupsi yang dilakukan oleh perusahaan. Korporasi juga melakukan kejahatan dalam rantai produksinya, dalam land clearing dengan membakar yang mengakibatkan penghancuran ekosistem, kematian, dampak kesehatan masyarakat yang buruk, kerugian negara dan kerugian non materi lainnya.
“PT Musi Hutan Persada misalnya, selain konsesinya terbakar dengan luasan mencapai sekitar 80.000 hektare, mereka juga melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dengan menggusur tanah dan ladang milik masyarakat Cawang Gumilir Musi Rawas Sumatera Selatan. Sudah 158 hari masyarakat tinggal di pengungsian,” kata Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Kajian, Pembelaan dan Hukum Lingkungan Eksekutif Nasional Walhi melalui siaran persnya pada Kamis (8/9).
Zenzi melanjutkan, menyuap, melakukan pelanggaran hukum dan aturan, melanggar hak asasi manusia, menjadi watak korporasi dalam menjalankan bisnis mereka. Penggunaan kekerasan, premanisme dan pendekatan keamanan, termasuk pengerahan aparat keamanan (Polisi/TNI) dan juga kelompok pamswakarsa selalu menjadi pola yang sistematis dan pada akhirnya terus melanggengkan konflik struktural agraria.
Walhi juga mempertanyakan peran penegak hukum dalam hal ini Kepolisian dalam kasus-kasus struktural lingkungan hidup, terutama dalam kasus kebakaran hutan dan lahan.