REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penghapusan peran bangsawan Kerajaan Gowa tidak hanya terjadi saat ini, ketika Bupati Gowa Adnan Purichta Ichsan Yasin Limpo mengukuhkan diri sebagai Raja Gowa. Tapi juga pernah terjadi pada masa penjajahan Hindia-Belanda.
Sejarawan Universitas Hasanuddin Suriadi Mappangara mengatakan Pemerintah Hindia-Belanda juga pernah menghapus peran bangsawan dan Raja Gowa diawal abad 20. "Pemerintah Hindia awal memutuskan menguasai Sulawesi Selatan awal abad 20, 1905 setelah menaklukan Bone, Gowa dan Luh raja itu ditiadakan. Jadi Raja tiadakan sama sekali. Jadi dia bikin sistem pemerintahan modern dengan menghilangkan peran bangsawan pada waktu itu," katanya, Senin (12/9).
Suriadi mengatakan pemerintahan Hindia Belanda melihat bangsawan dan rajalah yang membuat rakyat sengsara. Karena begitu banyak kerja paksa, kerja sukarela dan segala macam bentuk penghormatan-penghormatan. Suriadi mengataka semua itu dianggap menyengsarakan rakyat.
Namun setelah 25 tahun pemerintahan modern di Sulawesi Selatan gagal. Pemerintah Hindia-Belanda melihat kegagalan tersebut karena peran bangsawan dan raja yang dihapus. Pada tahun 1931 Pemerintah Hindia-Belanda mengakat Haji Andi Bacho La Mappanyuki Karaéng Silaja menjadi Raja Bone. Pada tahun 1934 mengangkat Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin.
Suriadi mengatakan pada saat Gowa masuk ke dalam Republik Indonesia, sudah tidak ada lagi kerajaan. Ia mengatakan setelah itu keturunannya mengklaim sebagai keturunan raja.
Menurut Suriadi pola pikir Adnan dalam tahap-tahap tertentu ada benarnya. "Mencoba melihat pola pikir Pak Bupati dan orang-orang disekitarnya, mungkin merasa bupati sama dengan raja. Pikiran itu pada tahap-tahap tertentu tidak salah perawat benda pusaka dilakukan pemerintah, tapikan ke bawahnya kewenangan adat istiadat dan berhubungan dengan pusaka bisa diberikan kepada orang yang secara turun temurun mengawasi itu," katanya.
Bentrokan antara Kerajaan Gowa dengan Satpol PP terjadi prosesi pencucian benda pusaka Kerajaan Gowa atau "Accera Kalompoang" di Istana Balla Lompoa, Sungguminasa, Gowa, Sulawesi Selatan. Massa pendukung keturunan Raja Gowa, berupaya menggagalkan prosesi pencucian benda pusaka di Balla Lompoa, karena dianggap tidak sah dengan ketidakhadiran keluarga Kerajaan Gowa.