Selasa 13 Sep 2016 02:36 WIB

Angka Perceraian di Suriah Meningkat Akibat Perang

Rep: Dian Erika N/ Red: Agung Sasongko
Foto milik kelompok antipemerintah Suriah, Aleppo Media Center (AMC) ini menunjukkan warga Suriah yang melihat kerusakan gedung akibat serangan udara di Aleppo, Suriah pada 26 Juli 2016.
Foto: Aleppo Media Center via AP
Foto milik kelompok antipemerintah Suriah, Aleppo Media Center (AMC) ini menunjukkan warga Suriah yang melihat kerusakan gedung akibat serangan udara di Aleppo, Suriah pada 26 Juli 2016.

REPUBLIKA.CO.ID DAMASKUS -- Angka perceraian dan poligami meningkat di Suriah dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan ini dipicu kondisi perang yang terjadi sejak 2011 lalu.

Berdasarkan data yang dihimpun sejak 2011, lebih dari 290 ribu warga tewas akibat perang di Suriah. Jutaan warga pun meninggalkan rumah mereka untuk mengungsi ke negara lain.

Catatan resmi yang dikeluarkan pemerintah menyebut pernikahan berstatus poligami menyumbang persentase 30 persen dari keseluruhan jumlah pernikahan yang terdaftar di

Damaskus pada 2015. Jika dihitung sejak 2010, kenaikan ini tergolong tinggi karena sebelumnya pernikahan berstatus poligami hanya sekitar lima persen dari seluruh perkawinan di negara tersebut.

Salah satu warga Suriah, Mohammed, menuturkan jumlah perempuan di Suriah kini lebih banyak jika dibandingkan dengan laki-laki. "Kami memiliki lebih banyak perempuan daripada laki-laki di sini. Empat teman-teman dan saya memutuskan untuk mengambil perempuan janda sebagai istri kedua untuk melindungi reputasi mereka," jelasnya sebagaimana dilansir dari alarabiya, Selasa (13/9).

Menurutnya, perang menempatkan warga di tengah kondisi kemiskinan, kekerasan dan pengangguran. Kepala Pengadilan Agama di Damaskus, Mahmud al - Maarawi, mengatakan saat ini banyak pria Suriah telah meninggal, pergi berperang atau mengungsi ke luar negeri.

"Jadi ada lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Dari sudut pandang hukum dan agama pandang poligami merupakan solusi. Pengadilan telah melonggarkan pembatasan yang memungkinkan seorang pria untuk mengambil istri kedua. Kebijakan ini berhasil menyelesaikan beberapa masalah," tuturnya.

Mahmud melanjutkan, perang juga menyebabkan angka perceraian di Suriah meningkat. Pada 2015 tercatat ada 7.000 kasus percerian di negara itu. Jumlah tersebut naik sekitar 25 persen dari total kasus perceraian pada 2010 yang hanya tercatat sebanyak 5.318 kejadian.

Perceraian disebabkan banyaknya pasangan yang harus hidup bersama keluarga mereka karena alasan ekonomi selama peperangan. Kondisi ini diyakini ikut memicu tekanan dalam rumah tangga yang berujung pada perceraian.

Dalam beberapa kasus, suami menuntut perceraian setelah bertemu perempuan di luar negeri, atau istri telah bercerai suami yang telah meninggalkan mereka di belakang.

Hukum Suriah memungkinkan istri untuk bercerai jika dia dapat membuktikan suaminya telah absen menafkahi selama setidaknya satu tahun.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement