REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pembinaan Administrasi Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung RI, Hasbi Hasan menuturkan meningkatnya angka kasus perceraian di Indonesia akan mengakibatkan penelantaran anak. Anak-anak korban perceraian akan sulit mendapatkan pendidikan yang berkualitas, baik itu pendidikan formal dari sekolah atau nonformal dari orang tuanya.
"Otomatis, kalau perceraian terus meningkat, nasib keturunan kita, anak-anak, menjadi tidak menentu," ujar dia kepada Republika.co.id, Senin (3/10).
Hasbi mengakui, kondisi tersebut tidak akan terjadi jika ibunya mampu menjadi seorang orang tua tunggal. Namun, menurut dia, terkadang yang terjadi justru sebaliknya. Tidak sedikit perempuan yang setelah menggugat cerai suaminya dan resmi berpisah, itu tidak mampu memenuhi kebutuhan anaknya.
"Kecuali kalau perempuannya bisa menjadi single parent. Tapi kan kadang-kadang tidak begitu," tambah dia.
Apalagi, Hasbi mengatakan, faktor penyebab perceraian saat ini lebih didominasi karena lemahnya kemampuan ekonomi dalam menyejahterakan keluarga. Dominasi faktor tersebut, kata dia, tentu akan memengaruhi kualitas dan mutu masyarakat Indonesia.
"Ini karena anak-anak telantar. Telantar dari sisi pendidikan, kesejahteraan, dan gizinya. Segala macam ya telantar. Kalau orang sudah cerai, sudah pasti kok anak-anaknya telantar. Siapa yang mau membiayai," tambah dia.
Jika penghasilan seorang ibu itu sedikit, anaknya pun akan kesulitan mengakses pendidikan yang berkualitas. Bahkan, bukan tidak mungkin anaknya akan putus sekolah. Sebab, pendapatan yang sedikit tersebut akan dibenturkan dengan persoalan asupan makanan atau gizi sehari-hari.
"Kalau dia penghasilannya sedikit, ya enggak bisa menyekolahkan anaknya di tempat yang berkualitas. Bahkan anaknya bisa putus sekolah. Belum lagi untuk makanan dan gizinya," ucap dia. Karena itu, memang perlu ada perhatian besar dari pemerintah untuk mengatasi persoalan perceraian tersebut melalui upaya sosialisasi yang masif hingga ke daerah-daerah.
Hasbi menjelaskan, daerah yang paling banyak terjadi perceraian karena faktor ekonomi bukan lagi di kawasan perkotaan atau di perkampungan. Melainkan, lanjut dia, di kawasan yang padat industri. Di kawasan ini, tentu sarat keberadaan buruh yang penghasilannya minim.
"Kenapa? Karena tingkat kesejahteraannya itu memang stagnan. Industri kan buruh. Buruh kan penghasilannya sedikit. Sementara kebutuhan semakin meningkat. Kalau di pertanian kan kalau lagi panen ya enggak jadi persoalan. Kalau buruh kan gajinya segitu-gitu aja," kata dia.