REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Menko Maritim Luhut Pandjaitan melanjutkan proyek reklamasi Teluk Jakarta terus menuai kritik keras dari berbagai kalangan.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) menilai keputusan tersebut semakin membuktikan rezim pemerintah saat ini lebih mengutamakan kepentingan korporasi daripada nasib rakyat kecil.
"Pemerintah Jokowi (Joko Widodo) bisa dikatakan sebagai rezim investasi, sehingga apa pun yang menyangkut kepentingan investor pasti akan dibela habis-habisan, meskipun itu menciderai masyarakat banyak," ujar Deputi Pengelolaan Pengetahuan Kiara, Farid Ridwanuddin kepada Republika.co.id, Selasa (4/10).
Menko Luhut sebelumnya mengklaim reklamasi di Teluk Jakarta untuk kepentingan nasional dan masyarakat Ibu Kota. Mantan perwira tinggi TNI itu berdalih, proyek tersebut harus dilanjutkan untuk menghindari banjir rob di utara Jakarta. Namun, Farid menilai alasan Luhut tersebut hanya dibuat-buat belaka.
"Asumsi tersebut hanya mitos yang dibangun oleh para pendukung reklamasi," katanya.
Ia mengungkapkan alasan serupa juga pernah digembar-gemborkan kalangan proinvestor untuk memuluskan proyek reklamasi di Teluk Benoa, Bali. Di sana, mereka membangun mitos bahwa reklamasi dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi lingkungan di kawasan pesisir Pulau Dewata tersebut.
Menurut Farid, opini semacam itu sungguh menyesatkan. Jika pemerintah serius ingin mengatasi banjir di Jakarta, yang harus mereka lakukan semestinya adalah restorasi terhadap sungai-sungai yang ada di Ibu Kota dari hulu sampai ke hilirnya.
Reklamasi, kata dia, bukan solusinya. Reklamasi hanya menjadi ladang bagi para investor untuk mendulang untung sebanyak-banyaknya.
"Itu sama saja artinya orang lagi sakit jantung, tapi yang dikasih malah obat sakit gigi. Enggak nyambung obat sama diagnosisnya," ucapnya.
Pakar ketahanan perubahan iklim dan urbanisme dari Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (IA-ITB), Hendricus Simarmata mengatakan, saat ini tengah berkembang opini yang menyebutkan bahwa reklamasi di Teluk Jakarta dapat mengadang laju perubahan iklim di Ibu Kota. Menurut dia, asumsi semacam itu harus diklarifikasi.
"Karena sampai sejauh ini belum ada satu pun bukti yang mengarah pada hubungan dua variabel tersebut," katanya lagi.