REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA — Untuk pertama kalinya Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, menjadi lokasi tempat pementasan teater hasil kolaborasi dwikultur, Australia dan Indonesia, Sabtu (15/10). Pentas yang disajikan Teater Satu di Gedung Kesenian Tasikmalaya itu mengangkat judul “The Age of Bones”.
Pementasan teater ini dibagi dalam dua sesi. Pada sesi pertama, ada seratusan orang yang menyaksikan pementasan tersebut hingga nyaris memenuhi lantai pertama Gedung Kesenian Tasikmalaya. Sutradara “The Age of Bones” Iswadi Pratama mengatakan, teater ini sudah dipentaskan di Taman Budaya Lampung dan Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung. Kemudian diadakan di Tasikmalaya. Pemilihan Tasikmalaya ini didasari antusiasme dan apresiasi masyarakat setempat terhadap teater yang dinilai tinggi. “Kami melihat Tasikmalaya merupakan salah satu tempat yang memiliki kegiatan teater dan puisi terbaik di Indonesia,” ujar dia.
Iswadi menjelaskan, pertunjukan teater ini berawal dari riset selama sepuluh tahun yang dilakukan penulis skenario Sandra Thibodeaux. Skenario itu dipentaskan dengen menggabungkan unsur musik, film, seni peran, dan juga wayang. “Memang kita tidak bisa bilang ini hal baru, tapi setidaknya ini adalah alternatif untuk khazanah seni pertunjukan. Kawan-kawan di sini bisa melihat bagaimana kisah nyata yang begitu dekat dengan kehidupan kita dikemas secara menghibur, tapi juga tetap merangsang daya kritis,” kata dia.
Sandra menjelaskan, “The Age of Bones” mengisahkan seorang bocah asal Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur (NTT). Bocah yang diceritakan dari keluarga sederhana itu mengalami nasib nahas karena harus terdampar ketika tengah mencari ikan. Bocah yang dinamai “Ikan” itu ditangkap oleh pihak keamanan Australia hingga kemudian dipenjara. “Cerita dalam teater ini berusaha mengungkap apa yang terjadi pada Ikan, dari kepergiaannya, penahanannya, hingga kepulangannya ke rumah. Intinya, yang ingin disampaikan adalah sisi humanis pentingnya keluarga, baik dari pandangan Australia juga Indonesia,” ujar dia.
Dalam pementasan “The Age of Bones” ini digunakan sejumlah simbol untuk menunjukkan makna karakter. Misalnya, kata Sandra, penggunaan helm selam pada polisi yang menangkap Ikan dan hakim yang mengenakan pakaian gurita. Di Australia, menurut dia, aparat yang mengenakan helm selam merupakan simbol polisi bodoh. Sedangkan pakaian gurita dimaknai hakim yang memiliki jaringan menggurita guna mencurangi proses peradilan. “Saya mengakui, teater ini juga merupakan kritik bagi Australia yang kurang menjunjung tinggi HAM,” kata dia.
Sandra mengakui, pementasan yang dilakukan seniman Indonesia dan Australia ini tidak mudah. Utamanya dalam menyesuaikan naskah dengan budaya setempat. “Kesulitan utama teater adalah agar naskahnya bisa diterima masyarakat Indonesia. Di sini kan budayanya berbeda dengan dengan di Australia. Misalnya, dari segi humornya juga tentu berbeda. Jadi, perlu ada adaptasi agar bisa disesuaikan,” ujar dia.