REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua tahun pemerintahan Jokowi-JK dinilai masih belum memenuhi janji-janji kampanyenya. Salah satunya yakni penuntasan masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu. Direktur Riset Setara Institute dan juga pengajar hukum tata negara UIN Syarif Hidayatullah, Ismail Hasani mengatakan berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu masih menjadi beban sosial politik Indonesia saat ini. Di antaranya kasus kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Tanjung Priok, Tragedi 1965, d.
"Namun setelah dua tahun memimpin, tidak ada langkah serius Jokowi untuk menuntaskan semua kasus-kasus tersebut," kata Ismail di kantor Setara Institute, Jakarta, Ahad (23/10).
Selain itu, terkait hilangnya dokumen hasil investigasi Tim Pencari Fakta (TPF) atas kasus Munir, Jokowi melalui Sekretariat Negara dinilai tidak mampu menjaga dokumen penting tersebut. Melalui putusan Komisi Informasi Publik (KIP) diketahui bahwa dokumen yang sudah diserahkan kepada Presiden SBY tersebut dinyatakan hilang.
Ismail juga menyoroti janji Jokowi yang akan merevisi UU 31/1997 tentang Peradilan Militer yang pada masa lalu merupakan salah satu sumber pelanggaran HAM. Tetapi setelah dua tahun, indikasi reformasi peradilan militer itupun dinilai tak ada. Ismail mengatakan Jokowi justru memberikan perluasan peran pada militer dalam berbagai kegiatan operasi militer selain perang melalui payung hukum.
Setara Institute mencatat terdapat 35 kesepakatan bersama (MoU) dengan berbagai kementerian dalam hal ini. "Pelibatan semacam ini secara sistemik dapat merusak sistem keamanan dan penegakan hukum," tambah dia.
Tak hanya itu, Ismail juga menilai perluasan peran TNI dalam memberantas terorisme justru akan menimbulkan persoalan baru dan dapat merusak sistem peradilan pidana pada tindak pidana terorisme. Sementara itu, Ketua Setara Institute, Hendardi menilai pembenahan dalam peradilan militer harus disuarakan agar tidak ada suatu golongan tertentu yang mendapatkan perlakukan istimewa untuk mengadili sendiri anggotanya.
"Hampir tidak ada negara yang demokratis yang menjunjung HAM, yang memberikan kesempatan pada militer untuk kemudian mengadili dirinya sendiri, karena ini akan menjadi semacam pemberlakukan warga negara istimewa terhadap suatu golongan. Karena itu restorasi peradilan militer selalu disuarakan," kata Hendardi.