Kamis 03 Nov 2016 19:00 WIB

Masjid Sang Cipta Rasa, Saksi Perkembangan Islam di Cirebon

Rep: Lilis Handayani/ Red: Agung Sasongko
Masjid Agung Kasepuhan Cirebon. Jamaah menunaikan shalat di Masjid Sang Cipta Rasa atau yang dikenal juga Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, Senin (28/7). Konon, masjid ini adalah masjid tertua di Cirebon, yaitu dibangun sekitar tahun 1480 M atau
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Masjid Agung Kasepuhan Cirebon. Jamaah menunaikan shalat di Masjid Sang Cipta Rasa atau yang dikenal juga Masjid Agung Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, Senin (28/7). Konon, masjid ini adalah masjid tertua di Cirebon, yaitu dibangun sekitar tahun 1480 M atau

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di Indonesia, terdapat sejumlah masjid yang memiliki nilai-nilai sejarah dan keindahan arsitekturnya. Masjid-masjid tersebut menjadi saksi perkembangan Islam di Tanah Jawa. Salah satunya adalah Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Cirebon.

Masjid yang didirikan pada abad ke-15 M oleh para Wali songo ini diselimuti banyak cerita mistis yang hingga kini masih dipercaya kebenarannya oleh masyarakat setempat. Karena itu, agak sulit membedakan manakah cerita yang bernilai sejarah dan yang bukan.

Masyarakat mempunyai cara sendiri untuk mengungkap nilai agama dan sejarah masjid ini. Kisah-kisah yang beredar berkisar tentang awal mula pendirian masjid, tokoh-tokoh pendirinya, latar belakang pemberian namanya, dan cerita-cerita lainnya. Mungkin karena banyaknya kisah itu, tahun pendirian masjid ini memiliki beragam versi.

Dalam buku Masjid-masjid Bersejarah dan Ternama Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Agama RI bekerja sama dengan Dewan Masjid Indonesia (DMI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon ini berdiri pada 1498 M. Sedangkan dalam buku Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia karya Abdul Baqir Zein, disebutkan pada 1480 M. Ada pula yang berpendapat berdirinya masjid itu pada 1478 M dan 1489 M.

Tak hanya dalam masalah tahun berdirinya, tokoh yang memprakarsai berdirinya masjid ini pun terdapat berbagai versi. Ada yang meyakini Sunan Gunung Jati, tetapi ada pula yang menyebutkan didirikan oleh Nyi Ratu Pakungwati.

Terlepas dari perbedaan-perbedaan itu, terdapat nilai agama, sejarah, dan budaya di Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang sangat penting bagi masyarakat Cirebon.

Azan, misalnya, yang dikumandangkan oleh tujuh orang sekaligus (azan pitu) menanamkan kepercayaan akan kekuatan kalimat 'Allahu Akbar' (Allah Mahabesar). Ada cerita yang melatari azan pitu itu.

Konon, dahulu ada seorang pendekar sakti bernama Menjangan Wulung. Pendekar berilmu hitam ini suka mengganggu orang-orang Islam karena tidak senang dengan penyebaran agama Islam. Suatu ketika, Menjangan Wulung bertengger di atap masjid dan menyerang setiap orang yang mengumandangkan azan.

Keadaan ini membuat umat Islam resah. Maka, Sunan Gunung Jati bermusyawarah dengan para ulama dan memohon petunjuk Allah. Muncullah jalan keluar, yaitu mengumandangkan azan yang disuarakan oleh tujuh orang secara bersama-sama. Suara azan yang dikumandangkan secara bersamaan itu membuat Menjangan Wulung kebingungan mengenai arah sumber suara. Akhirnya, Menjangan Wulung pun kalah dan tidak pernah mengganggu lagi.

Itu adalah sepenggal kisah dari salah satu tradisi unik di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Dahulu azan dengan cara ini dilantunkan setiap waktu shalat, namun kini hanya dilakukan pada saat shalat Jumat, yaitu pada azan pertama.

Ada pula kisah tentang penghukuman Syekh Siti Jenar oleh Walisongo. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa Syekh Siti Jenar mengajarkan aliran sufi yang bertentangan dengan doktrin Ahlussunnah waljamaah. Ia kemudian dihukum mati oleh Sunan Kudus di Masjid Agung Sang Cipta Rasa pada 1506 M dengan Keris Kaki Kantanaga milik Sunan Gunung Jati.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement