REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konflik antara Muslim dan pemerintah di Kirgistan sudah berlangsung cukup lama. Sejak awal negara ini memerdekan diri dari rezim komunis Uni Soviet pada akhir 1991, agama memang tidak memainkan peran besar dalam kancah politik di negeri ini.
Kendati elemen-elemen masyarakat tradisional di Kirgistan mendesak agar nilai-nilai Islam yang merupakan warisan para leluhur mereka diadopsi dalam pembukaan konstitusi 1993. Namun, sebagai negara yang mengklaim diri berasaskan sekuler, mereka melarang percampuran nilai-nilai ideologi atau agama dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Bahkan, pemerintah negeri itu kerap menuding kelompok-kelompok Islam berupaya menumbangkan pemerintahan. Dalam sebuah aksi unjuk rasa Oktober 2009 lalu, kepolisian Kirgistan menangkap 100 warga Muslim. Oleh pengadilan mereka kemudian dinyatakan bersalah dengan tuduhan ekstremis Islam.
Damira Kudaibergenova, salah satu staf senior di Departemen Pendidikan berdalih bahwa Kirgistan adalah negara yang menganut sistem sekularisme. “Ketika pilihan dihadapkan antara pendidikan dan kerudung, kami memilih pendidikan,” ujarnya kepada kantor berita Reuters.
Kudaibergenova menganggap jilbab dan agama sebagai bentuk serangan terhadap para siswa di sekolah. Untuk itu, kata dia, mereka harus dilindungi. Kudaibergenova juga mengeluhkan para siswa yang tidak hadir di kelas pada hari Jumat siang karena melaksanakan shalat Jumat.
Kendati fakta di lapangan memperlihatkan hal demikian, namun Kepala Komisi Keagamaan, Kanibek Osmonaliyev, membantah bahwa pemerintah sudah membatasi kebebasan beragama di negeri itu. Osmonaliyev berdalih, pemerintah hanya ingin menertibkan kelompok-kelompok keagamaan yang ada.
“Masyarakat yang meminta kami menertibkan mereka, karena masyarakat khawatir keluarga mereka terpecah belah akibat pengaruh kelompok-kelompok tersebut,” katanya.