REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- TNI akan memberikan akses kepada KPK untuk mengumpulkan bukti-bukti dalam penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi penerimaan suap terkait pengadaan alat monitoring satelit pada APBD-Perubahan 2016.
"KPK juga berkomunikasi dengan Puspom (Pusat Polisi Militer) TNI terkait dugaan oknum TNI yang terlibat. Pihak TNI juga menyampaikan apresiasi dan komitmen untuk memberikan akses ke KPK dan memberikan pengamanan kalau KPK melakukan upaya hukum paksa dan butuh pengamanan TNI," kata Ketua KPK Agus Raharjo dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Kamis (15/12).
KPK menetapkan Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla merangkap Kuasa Pengguna Anggaran Eko Susilo Hadi sebagai tersangka penerima suap senilai Rp2 miliar dari PT Melati Technofo Indonesia untuk memenangkan proyek pengadaan alat monitoring satelit senilai sekitar Rp200 miliar. Suap tersebut merupakan bagian dari 7,5 persen commitment fee dikali total anggaran.
"Anggaran APBN-P adalah anggaran yang dibuat tengah tahun, revisi anggaran seharusnya sebagai upaya-upaya penghematan dan terarah betul tapi dalam prakteknya masih ada praktik-praktik korupsi dalam pengadaan padahal pengadaan ini sangat strategis untuk keamanan dan kepentingan RI yang dikelola Bakamla. Kalau anggaran pertahanan negara saja dikorupsi tentu akan berdampak pada ketahanan RI," kata Laode.
Laode pun meyakini bahwa KPK dapat bekerja sama dengan Puspom TNI dalam mengungkapkan kasus ini hingga tuntas.
"KPK sangat mengapresiasi TNI yang telah bekerja sama dan memberikan dukungan penuh kepada tim KPK untuk pengungkapan kasus. Kami semua bekerja sama dengan TNI dengan lumayan akrab dan dengan baik. Jalau kita lihat putusan terakhir petinggi TNI yang dilakukan di mahkamah militer dan hasilnya cukup bagus dan KPK juga terlibat membantu kementerian pertahanan maka kami harapkan akan terjadi keterbukaan informasi yang cukup sehingga penggalian informasi akan dijalankan dengan baik," jelasnya.
Namun Laode mengakui bahwa KPK hanya berwenang untuk mengadili warga sipil dan bukan orang yang berasal dari militer. Eko Susilo Hadi merupakan jaksa yang dipekerjakan di Bakamla.
Hal itu sesuai dengan pasal 42 UU 30 tahun 2002 tentang KPK menyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum.
"Yang berhubungan dengan militer KPK tidak punya kewenangan oleh karena itu sejak sekarang KPK berkoordinasi dengan Pom TNI untuk mengkoordinasikan itu dan tni sangat dukung upaya-upaya KPK," ucap Laode.
Namun Laode belum bisa menyampaikan apa saja yang dilakukan Eko sehingga ia mendapatkan suap Rp2 miliar tersebut. "Sebagai kuasa pengguna anggaran peran dia (Eko) belum bisa dijelaskan karena masih diperiksa intensif tapi yang jelas karena ada pemotongan anggaran dari Rp400 itu dijadikan Rp200 miliar, yang disesalkan meski anggaran dipotong masih juga disunat lagi," ungkap Laode.
Dalam perkara ini Eko Susilo Hadi disangkakan pasal 12 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU tahun 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
KPK juga menetapkan Hardy Stefanus, Muhammad Adami Okta dan direktur PT Melati Technofo Indonesia Fahmi Darmawansyah sebagai tersangka pemberi suap berdasarkan pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU tahun 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. Sampai saat ini KPK masih mencari Fahmi Darmawansyah.