Oleh: Bayu Hermawan
Redaktur Politik Republika
Setelah menyita perhatian publik dalam beberapa bulan terakhir, kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memasuki babak baru. Ahok harus menjadi pesakitan dan menjalani persidangan di bekas Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara.
Awalnya, publik sedikit ragu apakah dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok, saat kunjungan kerja di wilayah Pulau Seribu, bisa berlanjut ke jalur hukum. Hal tersebut yang membuat timbulnya aksi massa yang terbesar sejak rapat akbar di lapangan Ikada Jakarta pada 19 September 1945 silam. Ada tiga aksi massa bertajuk aksi bela Islam yang menuntut agar Ahok dihukum.
Di luar dugaan, Polri bertindak cepat dalam memproses kasus Al Maidah 51. Tercatat hanya dalam waktu sekitar 15 hari, pascaditetapkan Ahok sebagai tersangka pada 16 November 2016, Polri telah melimpahkan berkas perkara kasus dugaan penistaan agama ke Kejaksaan Agung. Proses penelitian berkas di Kejagung pun tercatat sangat cepat, tanpa harus bolak-balik melengkapi berkas, Kejagung menyatakan berkas kasus tersebut P21 alias lengkap. Ahok pun harus menghadapi meja hijau.
Seperti aksi unjuk rasa yang menuntut agar Ahok diproses secara hukum sebelumnya, kekhawatiran akan timbulnya kericuhan yang mengarah pada tindak kekerasan dan pengrusakan sempat membayangi saat sidang perdana kasus dugaan penistaan agama di gelar. Bahkan, Polri sempat dibuat sibuk untuk mencari lokasi paling strategis dan aman untuk menggelar sidang, terrmasuk imbauan agar sidang tidak ditayangkan secara langsung di TV, seperti kasus 'Kopi Maut Mirna'.
Namun sekali lagi, pantaslah kita memberikan apresiasi kepada umat Islam pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya, yang bisa menjaga kondisi keamanan tetap kondusif.