Senin 02 Jan 2017 13:45 WIB

Pemerintah Dinilai Perlu Moratorium Kebijakan Bebas Visa Kunjungan ke Indonesia

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Winda Destiana Putri
Wisatawan Cina (Ilustrasi)
Foto: Google
Wisatawan Cina (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menilai sudah semestinya Pemerintah mengevaluasi kebijakan bebas visa kunjungan (visa on arrival) 169 negara ke Indonesia. Hal ini menyusul meningkatnya pelanggaran keimigrasian di 2016 sejak diberlakukannya kebijakan tersebut Maret 2016 lalu.

Hikmahanto menilai, tujuan dikeluarkannya kebijakan adalah untuk mengejar jumlah wisatawan dari negara-negara tersebut. Namun kenyataannya, justru makin banyak juga pelanggaran yang ditimbulkan oleh warga negara asing (WNA) dari negara-negara tersebut.

"Memang harus dievaluasi, terutama negara-negara yang WNAnya diketahui paling banyak melanggar dan menimbulkan masalah, jadi jangan semata-mata melihat jumlah wisata yang kita kejar, tapi kemanfaatannya juga," kata Hikmahanto saat dihubungi Republika pada Senin (2/1).

Menurutnya pada 2016 negara-negara yang paling banyak melanggar didasarkan data pihak Imigrasi antara lain Cina (Tiongkok), Banglades, Afganistan, sejumlah negara dari Afrika, dan tidak sedikit juga Timur Tengah. Kepada negara ini menurutnya Pemerintah perlu mempertimbangkan moratorium atau penghentian sementara kebijakan bebas bisa kunjungan.

Jika nantinya setelah dilakukan moratorium, memang pelanggaran keimigrasian maupun pelanggaran pro justicia berkurang, artinya kebijakan untuk negara-negara tersebut semestinya dibatalkan.

Hikmahanto menekankan, perlunya evaluasi kebijakan bebas visa kunjungan kepada negara-negara yang tidak memberi sumbangsih wisatawan besar ke Indonesia.

"Moratorium ke Cina dulu, dan negara-negara yg menurut Indonesia GDP (Gross Domestic Product) masyarakatnya tidak meyakinkan untuk berwisata ke Indonesia, itu misalnya negara-negara Afrika, Timur Tengah juga yang biasanya ke Indonesia untuk singgah sebelum ke Australia," kata Hikmahanto.

Terutama, Jebolan Doktor of Philosophy dari University of Nottingham, Inggris ini menekankan perlunya moratorium bebas visa kunjungan WNA Cina ke Indonesia. Hal ini karena selain banyaknya pelanggaran keimigrasian oleh WNA Cina, juga tidak resiprokal-nya atau saling berbalasnya kebijakan bebas kunjungan visa Indonesia ke Cina. "Ke Cina, kita tetap memakai visa, jadi kita juga harusnya resiprokal. Kita juga tidak usah terlalu mengejar wisatawan dari Cina, karena dampaknya lebih banyak ruginya daripada untungnya," kata Hikmahanto.

Hal ini didasari sejumlah fakta terjaringnya WNA asal Cina yang kedapatan melanggar, terbaru yakni 76 WNA Cina yang diamankan pihak Imigrasi saat tengah bekerja menjadi pekerja seks komersial (PSK). Sebelumnya juga, telah ada sekitar 1.800an Tenaga Kerja Asing (TKA) asal Cina yang dideportasi dari jumlah total 7.787 TKA yang dideportasi pada 2016. "Artinya selain pekerja kasar, ada jg PSK juga, masa Indonesia kesannya mengekspor tenaga kasar dan PSK," kata dia.

Karenanya, jika ini tidak dievaluasi, maka dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan sosial di masyarakat. "Pemerintah perlu mencermati masalah ini jangan sampai nanti malah menjadi masalah sosial, bisa nanti masyarakat kita ini jadi anti Cina kepada masyarakat kita sendiri, padahal maksudnya kepada para pekerja cina, bukan ke masyarakat Indonesia, padahal mereka tidak salah, mereka nasionalis," kata Hikmahanto.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement