REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, program bela negara dapat mengancam dan membahayakan negara apabila tak memiliki konsep, tujuan, dan regulasi yang jelas.
Hal ini disampaikannya menanggapi pelatihan bela negara yang dilakukan terhadap kelompok FPI oleh Komando Distrik Militer Lebak, Banten.
Ia menjelaskan, program bela negara yang tak jelas konsepnya dapat menciptakan, kelompok-kelompok paramiliter ataupun justru membangun kelompok-kelompok sipil yang terlatih.
"Target pelatihan bela negara tidak memiliki ukuran dan prasyarat yang jelas, sehingga kadang kala menyasar pada kelompok paramiliter yang berdimensi militeristis," kata Al Araf di kantor Imparsial, Jakarta, Selasa (10/10).
Menurut dia, dalam sejarahnya, rezim Indonesia terkadang memobilisasi dan menggunakan kelompok-kelompok sipil terlatih untuk tujuan politik pemerintah yang kemudian menyebabkan kekerasan dan juga konflik.
Ia mencontohkan, adanya pelatihan bagi paramiliter yang memunculkan milisi di Timor Leste, Aceh, Papua, atau pembentukan PAM Swakarsa pada awal reformasi. Milisi disalahgunakan untuk menghadapi kelompok masyarakat yang kritis terhadap kekuasaan dengan cara-cara kekerasan.
"Karena itu, ketiadaan konsep bela negara yang diatur melalui regulasi yang jelas dapat membuka ruang terjadinya pembentukan kelompok paramiliter dan milisi yang dapat mengancam kehidupan berdemokrasi," ujar Al Araf.
Lebih lanjut, Al Araf juga mengatakan program bela negara yang dijalankan oleh Kementerian Pertahanan akan membebani anggaran pemerintah.
Baca juga, Adakan Bela Negara dengan FPI, Dandim Lebak Dicopot.
Padahal, kata dia, anggaran pertahanan yang tersedia saat ini masih kurang untuk pembiayaan modernisasi alutsista serta meningkatkan kesejahteraan prajurit. Kendati demikian, apabila program bela negara menggunakan anggaran di luar sektor pertahanan tanpa adanya regulasi, justru akan berpotensi terjadi penyalahgunaan.
Menurut dia, program bela negara seharusnya dimaknai sebagai bentuk partisipasi warga negara di dalam membangun negara, yakni dengan memperkuat nilai toleransi dan mempererat persatuan. Pendidikan kewarganegaraan pun dinilainya lebih penting daripada menggelar pelatihan-pelatihan yang bersifat militeristik di Indonesia.
"Oleh karena itu, pendidikan bela negara seharusnya diarahkan dalam rangka membangun pendidikan kewarganegaraan. Jika itu yang dituju maka upaya pendidikan bela negara untuk menuju aspek kognitif dalam rangka membangun citizenship yang kuat hanya bisa dibangun oleh kementerian pendidikan," ujar dia.