REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Motif penembakan pengacara HAM Myanmar, U Ko Ni, diduga untuk menggoncang negeri, Selasa (31/1). Kantor Presiden mengeluarkan pernyataan tersebut dan dikutip kantor berita pemerintah Global New Light of Myanmar.
"Interogasi awal mengindikasikan adanya keinginan untuk merusak kestabilan negara," kata pernyataan kantor Presiden Htin Kyaw. Tidak ada penjelasan lebih lanjut. Namun presiden mengatakan penyelidikan masih berlangsung.
Ia berjanji pemerintah terus mencari kebenaran. Keamanan pun ditingkatkan pascapembunuhan. Hingga saat ini, otoritas Myanmar masih membungkus erat informasi soal pelaku. Mereka hanya menyebut pelaku tunggal dan berusia 53 tahun.
Selain Ko Ni, pelaku juga menembak seorang sopir taksi yang berusaha menangkapnya sesaat setelah penembakan. Ko Ni ditembak dari jarak dekat dekat Bandara Internasional Yangon pada Ahad (29/1).
Polisi langsung menangkap pelaku di lokasi kejadian. Selanjutnya polisi mengatakan pelaku adalah warga Myanmar.
Pada Senin, Kepala eksekutif kelompok HAM, Fortify Rights, Matthew Smith meminta agar pemerintah mengusut tuntas kasus ini. Smith mengatakan Ko Ni adalah salah satu ikon HAM yang dihormati.
Sehingga kasus ini sama saja ancaman sekaligus kehilangan atas kebebasan HAM. "Kami sangat kaget dan sangat sedih karena aksi keji ini," kata Smith dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id. Ia mendesak pemerintah untuk mengadili pelaku seadil-adilnya.
Ko Ni adalah salah satu pengacara Muslim paling terkenal di Myanmar. Ia juga seorang advokat hukum yang sangat diperhitungkan. Saat insiden, ia masih menjabat penasihat hukum partai Aung San Suu Kyi, National League for Democracy (NLD).
Hingga saat ini tidak jelas apakah Ko Ni jadi target karena agamanya atau pekerjaannya. Ia turut serta dalam amandemen konstitusi 2008 yang memberi militer kursi parlemen dan beberapa jabatan kementerian.
Namun, insiden ini juga terjadi saat ketegangan komunal dan keagamaan meningkat di Myanmar. Sekitar 69 ribu Muslim Rohingya meninggalkan Rakhine State karena klaim pelanggaran HAM oleh otoritas militer.
Ko Ni juga jadi orang yang memfasilitasi penghapusan Emergency Provisions Act 1950 dan mengamandemen Ward or Village Tract Administration Law 2012. Kedua aturan ini sering digunakan otoritas untuk menargetkan pembela HAM dan minoritas.
Pada 2015, Ko Ni bersama Fortify Rights meluncurkan sebuah laporan yang mendokumentasikan Ward or Village Tract Administration Law berlawanan dengan HAM. Kebutuhan registrasi tamu yang ada dalam aturan telah melanggar privasi dan kebebasan bergerak.
Ko Ni mendapatkan gelar sarjana hukumnya dari Yangon University of Arts and Sciences pada 1976. Ia kemudian jadi dosen dan mendirikan Laurel Law Firm pada 1995. Saat pemilu 2012, ia mulai bekerja sebagai penasihat legal Aung San Suu Kyi dan NLD.
Ia juga mendirikan Asosiasi Pengacara Muslim Myanmar. Keahliannya di bidang hukum konstitusi dan komitmennya dalam membela HAM. Ia sekaligus dikenal juga sebagai aktivis dan disejajarkan dengan politikus.
Meski terbilang gemilang dalam kinerjanya, ia sering mendapat pesan intimidasi dan ancaman. "Saya seorang target," kata Ko Ni pada Fortify Right tahun 2015 silam. Ini karena ia adalah penasihat Suu Kyi dan NLD. Juga karena ia anggota inti komite reformasi konstitusi.
Pesan ini mengindikasikan Ko Ni merasa dikejar oleh militer. Terlepas dari itu, Smith mengatakan Ko Ni adalah seorang pria pemberani yang mendedikasikan hidupnya untuk membuat Myanmar jadi negara yang lebih menghargai HAM.
Pemakaman Ko Ni pada Senin di Yay Way Cemetery Yangun dihadiri oleh puluhan ribu orang. Termasuk komunitas Buddha, Muslim, politikus, masyarakat sipil, keluarga, dan simpatisan. Meski demikian, Suu Kyi tidak hadir di sana. Ia juga tidak mengeluarkan pernyataan.
Secara terpisah pada Selasa, sebuah komisi menyelidiki serangan di pos perbatasan Rakhine State. Media setempat mengatakan ada klaim teranyar yang menyebut pelanggaran HAM. Komisi tersebut belum mengeluarkan laporannya namun berjanji dalam waktu dekat, dikutip dari Reuters.