REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Identifikasi penyebab Kasus Luar Biasa (KLB) keracunan pangan di Indonesia dinilai masih perlu peningkatan, baik dari segi sumber daya manusia (SDM) maupun fasilitas laboratorium. Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Winiati P Rahayu mengatakan, negara harus meningkatkan kapasitas ilmiah dengan tersedianya laboratorium lengkap dan peralatan yang memadai baik dari segi kualitas mau pun kuantitas.
Menurutnya, selama kurun waktu 2005-2015, dilaporkan kasus KLB keracunan pangan di Indonesia rata-rata per tahunnya adalah 124 kasus dan agen penyebabnya sudah banyak diketahui. Prof Winiati memaparkan lima strategi pengendalian permasalahan keamanan pangan, yaitu, penguatan sistem manajemen keamanan pangan; investigasi KLB keracunan pangan; pengembangan metode analisis mikrobiologi; penerapan cara produksi pangan yang baik; serta pembangunan pendidikan dan budaya keamanan pangan.
“Penyebab keracunan pangan sangat penting diketahui agar kerugian kesehatan dan ekonomi dapat dihindari. Contoh kasus, peluang sakit karena konsumsi otak-otak dan siomai yang tercemar bakteri S Aureus adalah satu dibanding 972 porsi. Kerugian ekonomi karena kasus KLB keracunan pangan di Indonesia pada tahun 2013 adalah Rp 1,2 triliun,” ujarnya.
Dalam salah satu risetnya, Prof Winiati menguji 35 sampel Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) pada 2015 di delapan SD di Bogor. Hasilnya, tidak ditemukan kontaminasi L Monocytogenes, Salmonella spp atau vibrio spp. Demikian juga halnya pengujian terhadap 65 sampel PJAS berbasis ikan dan 30 sampel kerang tidak dijumpai kontaminasi L monocytogenes.
Namun, secara umum PJAS, kata dia, masih membutuhkan perhatian. Laporan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI (2013), masih ada 19,21 persen PJAS yang tidak memenuhi syarat keamanan dari 15 ribu sampel yang dianalisis. Khususnya minuman es 41 persen persen tidak memenuhi syarat most probable number (MPN) koliform.
"Penelusuran terhadap 90 orang pedagang minuman es di Bogor menunjukkan masih ada 6,5 persen pedagang yang tidak mendidihkan air PAM dan air sumur dan masih terdapat 8 persen pedagang yang tidak patuh terhadap cara produksi pangan yang baik. Misalnya mencuci tangan sebelum mengolah pangan karena ketiadaan fasilitas air bersih,” kata dia menerangkan. Karena itu, tambah dia, jika mencermati kondisi keamanan pangan pada PJAS, maka sasaran pendidikan keamanan pangan adalah anak sekolah, guru, orang tua, produsen maupun konsumen pada umumnya.