Kamis 23 Feb 2017 00:05 WIB

Tanggapi Jokowi, Din: Solusinya Pemerintah Netral Menegakkan Hukum

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Ilham
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai, Indonesia sedang mengalami ekses dalam berdemokrasi. Menurut mantan gubernur DKI Jakarta ini, praktik berdemokrasi yang kebablasan mampu menciptakan paham-paham politik yang ekstrem.

“Ini bisa menimbulkan adanya liberalisme, radikalisme, sektarianisme, dan terorisme, dan ajaran lain yang bertentangan dengan ideologi Pancasila,” kata Presiden Jokowi dalam sambutannya pada pengukuhan Partai Hanura di Bogor, Rabu (22/2).

Terkait itu, Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsuddin mengaku sepakat dengan pandangan Jokowi. Menurutnya, salah satu pemicu munculnya demokrasi yang kebablasan adalah tampilnya paham-paham yang mengutamakan politik identitas sektarian.

“Sependapat dengan Presiden Jokowi bahwa perpolitikan kita menampilkan isme-isme. Terakhir ini, perpolitikan Indonesia membangkitkan politik identitas (sektarian). Seperti hasil Pilkada serentak, khususnya di Ibu Kota,” ujar Din Syamsuddin dalam pesan singkatnya kepada Republika.co.id, Rabu (22/2)

Secara tegas, mantan Ketua Umum MUI itu menilai pemilihan kepala daerah (pilkada) DKI Jakarta sebagai contoh. Din melihat, pilkada tersebut telah dengan gamblang menunjukkan adanya kelompok agama dan etnis tertentu yang secara kompak dan utuh mendukung pasangan calon tertentu.

Namun, dukungan ini tampil bersamaan dengan kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan pejawat, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Sampai hari ini, persidangan atas calon nomor urut dua tersebut belum kunjung usai dan terus menggulirkan opini-opini publik.

Bahkan, kata Din, kasus Ahok membangkitkan politik identitas massa yang kurang puas dengan cara penguasa menggunakan aturan hukum. Misalnya, penonaktifan Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta lantaran dirinya berstatus terdakwa.

Sebagian publik melihat pemerintah, melalui Menteri Dalam Negeri, kurang proporsional dalam mengambil kebijakan. Padahal, kata Din, sikap dan perangai pejawat tersebut antara lain telah menimbulkan kegaduhan nasional yang tak perlu ada.

“Kebangkitan politik identitas ini tidak terlepas dari cara penanganan pemerintah terhadap kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama yang dirasakan oleh sebagian sebagai tidak berkeadilan. Pemerintah sibuk menangani akibat, tetapi mengabaikan sebab. Siapa sebenarnya yang menimbulkan kegaduhan politik nasional kita?”

Dengan demikian, pemerintah cenderung melakukan pembiaran sehingga mendorong rakyat untuk semakin mengkristalkan identitas agama atau etnisnya masing-masing. Bila hal ini dibiarkan berlarut-larut, Din khawatir polarisasi di tengah masyarakat Indonesia kian mengeras dan tajam. Solusinya, ia menegaskan, pemerintah harus tegas dan berkeadilan.

“Jalan keluarnya adalah pemerintah harus netral dalam menegakkan hukum dan dalam proses demokrasi itu sendiri. Jangan hukum itu tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Jangan sampai terjadi kita menyalahkan pihak yang benar dan membenarkan pihak yang salah. Solusi terhadap munculnya isme-isme itu adalah pemerintah berdiri di atas dan untuk semua kelompok,” kata dia. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement