REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga Kemendikbud Sukiman mengatakan, permainan skip challenge atau pass out challenge sangat berbahaya. Permainan dengan cara menekan dada sekeras kerasnya selama beberapa waktu dan menyebabkan anak tersebut kejang dan pingsan bisa menyebabkan kerusakan otak, bahkan kematian.
"Anak-anak menganggap permainan ini sebagai sebuah pengalaman yang menantang. Mereka tidak menyadari bahwa sebetulnya mereka pingsan karena asupan oksigen ke otak terhenti beberapa saat,'' kata Sukiman, saat dihubungi, Jumat (10/3).
Menurut dia, konsumsi utama otak adalah oksigen dan kekurangan asupan oksigen dapat menyebabkan kerusakan sel-sel otak. Kerusakan ini bisa menyebabkan kelumpuhan atau kematian. Sehingga, permainan ini sangat berbahaya.
Oleh karena itu, Sukiman meminta remaja wajib menyetop permainan tersebut dan mencari permainan lain yang menyenangkan dan menyehatkan. Selain itu, pengawasan terhadap potensi perilaku menyimpang dari para siswa tidak cukup oleh guru, tetapi harus melibatkan semua pihak, termasuk siswa.
Sebab, lanjut dia, sesama siswalah yang paling tahu adanya berbagai penyimpangan tersebut, tetapi sering kali mereka tidak ada keberanian untuk mengadu. Mekanisme pengaduan yang aman (perlindungan saksi) perlu dibuat oleh pengelola sekolah, yaitu menerima pengaduan dengan merahasiakan pengadunya. Selanjutnya, pihak sekolah yang harus menindaklanjuti.
''Jadi kalau ada tangkap tangan, pihak sekolah lah yang melakukan. Pengaduan sifatnya hanya sebuah informasi. Di seputar sekolah anak-anak juga sering nongkrong-nongkrong, merokok, dan membuat kegaduhan tanpa ada yang peduli. Ini membutuhkan kerjasama dengan masyarakat lingkungan,'' ujarnya.
Menurut dia, media paling praktis adalah pengaduan via ponsel (SMS/WA). Sekolah perlu menginformasikan nomor ponsel pengaduan kepada masyarakat. Dengan demikian, tidak ada tempat bagi anak-anak untuk melakukan penyimpangan, karena pasti akan ketahuan.
''Terkait dengan sanksi, menurut saya untuk pelanggaran awal biarkan diselesaikan oleh pihak keluarga. Karenanya perlu jalinan komunikasi yang lebih intensif antara pihak sekolah dengan orang tua,'' ujar dia.