REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim menuturkan tidak ada alasan apapun bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tidak memeriksa nama-nama dalam dakwaan kasus KTP-El.
"Jadi didakwaan itu sudah jelas. Bahwa ini menggunakan pasal 55 (ayat 1 ke-1 juncto pasal 64 ayat 1 KUHP), maka semua nama yang disebut bersama-sama, dan kemudian memperkaya orang lain. Artinya semuanya bisa ditetapkan sebagai tersangka," tutur dia, Jumat (10/3).
Menurut Hifdzil, KPK harus tetap konsentrasi di koridornya. Sekarang yang perlu diselesaikan, kata ia, adalah menyelesaikan kasus dengan terdakwa Irman dan Sugiharto. Kemudian, berlanjut ke beberapa pejabat di instansi Kemendagri saat itu, yakni mendagri Gamawan Fauzi dan Sekjen Kemendagrinya, Diah Anggraini.
"Setelah itu baru melangkah ke parpol. Mulailah dari top leader-nya dulu," ujar dia.
Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kasus ini memang akan sangat lama, bisa 1 hingga 2 tahunan. Karena itu, publik harus tetap bersabar untuk melihat dan menilai pembuktian kasus ini. "Ini akan sangat lama, 1 sampai 2 tahun, publik juga harus tetap bersabar, ini grand corruption," kata dia.
Hifdzil juga mengingatkan, jumlah penyidik di KPK tidaklah banyak, hanya ratusan, dan penuntut umumnya hanya puluhan. Kondisi inilah yang membuat KPK sulit membuka penyidikan baru.
Baca juga, KPK: Dakwaan Kasus KTP-El akan Ungkap Peran Orang Besar.
"Kalau mau cepat, ya tambah, jumlah penuntutnya, jumlah penyelidiknya dan penyidiknya. Jadi satu kasus, ada beberapa tersangka, kemudian dibentuk beberapa tim untuk memeriksa. Untuk saat ini, ya butuh waktu dua tahunan," kata dia.
Soal kenapa nama-nama yang disebut dalam dakwaan itu belum juga ditetapkan sebagai tersangka, menurut Hifdzil, itu merupakan strategi KPK. Tentunya, mereka yang disebut dalam dakwaan itu tidak akan dilepaskan dari jeratan pidana.