REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Pemerintah Irak mengatakan tidak ada bukti bahwa terjadi serangan senjata kimia di Mosul. Menurut laporan yang beredar sebelumnya, kelompok radikal ISIS telah menggunakan senjata itu untuk melawan pasukan pemerintah di salah satu kota terbesar di negara tersebut.
Melalui Duta Besar Irak untuk PBB Mohamed Ali Alhakim, hal ini disampaikan. Sebelumnya, organisasi bangsa tersebut menyatakan ada 12 orang, termasuk perempuan dan anak-anak yang harus dirawat di rumah sakit karena terkena paparan senjata kimia di Mosul pada 1 Maret lalu.
Laporan ini disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB melalui wakil sekretaris jenderal PBB di bidang Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat, Stephen O'Brien dan Perwakilan Tinggi PBB untuk ursan Pelucutan Senjata Kim Won-soo.
Selain itu, Duta Besar Inggris untuk PBB Matthew Rycroft mengatakan bahwa 15 anggota Dewan Keamanan meyakini bahwa serangan senjata kimia oleh ISIS terjadi. Ia menekankan bahwa Irak perlu melakukan penyelidikan mendalam mengenai kemungkinan itu.
"Kami menyatakan keprihatinan atas laporan kemungkinan penggunaan senjata kimia oleh ISIS dan berharap investigasi Irak secara menyeluruh atas dugaan ini," ujar Rycroft, Sabtu (11/3).
Seperti diketahui, saat ini pasukan militer Irak terus berjuang untuk melumpuhkan ISIS dari Mosul. Namun, ISIS diduga dapat menggunakan senjata kimia untuk memperlambat pergerakan pasukan di kota yang disebut menjadi benteng terkahir kelompok militan ini.
ISIS sebelumnya juga dilaporkan telah menggunakan senjata kimia di Irak dan Suriah sejak kelompok teroris itu mulai mengambil alih banyak wilayah di dua negara tersebut. Setidaknya ada 52 insiden yang melibatkan penggunaan zat klorin, salah satu bahan kimia berbahaya.
Mosul juga diyakini menjadi pusat produksi senjata kimia oleh ISIS. Tetapi, siring serangan ofensif yang dimulai pasukan Irak pada Oktober tahun lalu, sejumlah peralatan dan ahli untuk membuat senjata itu telah dipindahkan ke Suriah.