REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Seni dan Budaya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Habiburrahman el-Shirazy mengungkap, nasyid dikenal dengan tradisi musik Islam. Karena itu, nasyid tidak tentu sama di setiap negara Islam.
Itu disebabkan lokalitas tiap-tiap negara yang berbeda. Kendati demikian, Kang Abik menjelaskan, di dalam Islam, ada kesamaan koridor bernyanyi yang telah disepakati oleh para ulama.
"Itu yang membedakan lokalitasnya saja. Misalnya, Turki dan Indonesia ada tambahan (perbedaan), tapi pakemnya sama. Enggak boleh menjurus ke maksiat," kata Kang Abik.
Pendapat Kang Abik di atas merupakan arti nasyid secara lebih luas. Sebab, dia menilai, jika nasyid hanya dipandang seperti grup nasyid yang ada di Indonesia, itu merupakan bentuk penyempitan makna. Padahal, Kang Abik menegaskan, nasyid mempunyai makna lebih luas.
Sementara itu, Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslimin Nahdlatul Ulama (PP Lesbumi) Agus Sunyoto mengatakan, nasyid merupakan syair yang dinyanyikan. Syair sejak zaman Rasulullah pun sudah berkembang. Syair tersebut dinyanyikan dalam berbagai bentuk seperti burdah yang dilagukan.
Pada zaman Rasulullah, Agus mengungkapkan, syair-syair juga banyak dilantunkan oleh sastrawan."Dulu ada sastrawan, menyanyikan burdah dan puji-pujian," kata Agus.
Kendati demikian, jenis nasyid yang berkembang saat ini, menurut Agus, merupakan ragam musik yang tergolong baru. Mereka terangkat dari wilayah Timur-Tengah, khususnya di jazirah Arab.
"Itu fenomena baru nasyid," ujarnya.
Agus pun melihat nasyid di Indonesia tidak terlalu berkembang. Mereka masih kalah dengan pujian lainnya seperti shalawatan