REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menilai, surat permintaan penundaan sidang tuntutan kasus dugaan penistaan agama oleh Polda Metro Jaya dapat mencederai citra kepolisian. Fahri khawatir masyarakat akan menilai pihak kepolisian tidak netral dalam kasus tersebut.
Menurutnya, permintaan penundaan sidang itu seakan nampak upaya intervensi kepolisan dalam sidang dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"Surat Polda ini seolah-olah polisi terlibat dalam perkara ini. Padahal seharusnya polisi sudah berhenti setelah perkaranya P21 diserahkan kepada kejaksaan maka kepolisan menjaga keamanan yang lain," kata Fahri di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Jumat (7/4).
Menurutnya, kalau pun karena alasan keamanan jelang Pilkada, dalam fungsinya tersebut kepolisian bukan sebagai penegak hukum melainkan fungsi lainya yakni menjaga keamanan dan ketertiban demi melindungi masyarakat. Jika demikian, maka cara cata yang ditempuh Polda Metro Jaya semestinya tidak dilakukan luar persidangan mengingat proses sidang masih terus berlansung.
Sehingga dalam hal ini majelis hakim, jaksa dan pengacara sebagai pihak yang terlibat dalam proses tersebut. Semestinya, pihak kepolisian melalui wakil di persidangan antara jaksa maupun pengacara.
"Seharusnya bersurat kepada Jaksa Agung lalu JPU lah di dalam ruang sidang itu atau pengacara daripada terdakwa, itu yang boleh melakukan itu dalam persidangan," katanya.
Fahri menegaskan tidak boleh ada intervensi dari pihak luar mana pun kepada lembaga peradilan. Karena, mekanisme persidangan pihak yang mengendalikan seluruh kasus ini adalah hakim.
"Jadi dalam kerangka penegakan hukum sebetulnya tidak boleh ada intervensi apapun dari pihak manapun terhadap persidangan dan sidang itu harus sepenuhnya dikendalikan oleh majelis hakim," ujarnya.