REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto menilai Jakarta telah tercemar dengan pola pikir dengan istilah Islam radikal yang antikesatuan dan keragaman. Video kampanye pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, menurut dia adalah salah satu sumber tersebarnya pola pikir tersebut.
"Video itu sedikit banyak bermaksud menggambarkan itu, keantiragaman oleh Islam kanan (radikal). Ini jelas merusak pola pikir," ujar Ismail, Senin (10/4).
Ismal menganggap video itu menggambarkan seolah-olah Islam kanan merusak kesatuan, antikeragaman, dan harus dijauhi atau dibenci. Padahal, menurut dia, Islam kanan yang selama ini dikategorikan dengan sudut pandang yang buruk, tidak berperilaku serendah itu.
"Aksi 212 dan aksi gerakan Islam lainnya adalah bukti Islam itu damai dan terbuka dengan keanekaragaman. Tapi itu tidak dimunculkan dalam video. Sebaliknya, yang muncul justru yang negatifnya, seperti yang garang, yang anarkis dan yang mencekam," ujar Ismail.
Menurut dia, ada empat hal yang terkandung dalam video kampanye pasangan calon Ahok-Djarot tersebut. Pertama, video tersebut merusak pola pikir masyarakat. Kedua, secara politik, ini memberikan kerugian kepada paslon tiga. Seolah-olah paslon tiga mewakili adegan tersebut.
"Saya melihat ini memberikan stigma negatif bagi paslon tiga," kata dia.
Ketiga, seolah-olah paslon dua yang akan mengawal keberagaman, kesatuan, padahal faktanya, menurut Ismail, justru Ahok-Djarot yang menimbulkan kekisruhan dan perpecahan selama ini. Keempat, telah terjadi pembelokan pada inti masalah, atau telah terjadi ketidakadilan pada penegakan hukum. Video tersebut, menurut dia menggambarkan seolah-olah yang terjadi saat ini adalah berkembangnya keradikalan umat Muslim.
"Telah terjadi kejahatan dua kali. Pertama dia (Ahok) melecehkan Alquran dan kedua dia (Ahok) melimpahkan kesalahan kepada orang lain dengan mengatakan mereka antikeragaman," ucap Ismail.
Adegan kelompok pria berpeci dalam video kampanye itu, menurut Ismail adalah rekayasa. Dia menilai adegan tersebut adalah bentuk framing yang merupakan campuran dari fakta dan buatan.
"Jadi ini kan framing ya melalui sebuah tayangan video, ada yang faktual dan ada yang bikinan. Itu cuplikan dari film atau mungkin mereka membuat adegan berdasarkan imajinasi mereka saja," jawab dia.
Spanduk 'Ganyang Cina' yang dalam video dibawa oleh rombongan pria berpeci, menurut Ismail adalah buatan. Karena menurut dia, tidak pernah ada aksi Ganyang Cina. "Aksi Ganyang Cina itu enggak ada, karena kita tidak pernah ada urusan dengan soal Cina. Kita punya banyak sahabat Cina, karena tidak semua Cina seperti dia (Ahok). Jadi persoalannya itu ada di pembelaan secara membabi buta kepada orang yang seharusnya diperlakukan dengan tegas secara hukum," kata dia.