REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak dulu, profesi hakim dianggap sebagai salah satu pekerjaan yang memiliki nilai prestisius. Bagaimana tidak, mereka yang menggeluti profesi tersebut diberi kewenangan untuk mengadili dan memutus berbagai perkara hukum yang terjadi di masyarakat. Di tangan para hakim, nasib orang banyak ditentukan.
Namun, sayangnya, tidak sedikit hakim jahat yang menguasai lembaga peradilan hari ini. Mereka bisa menjadikan orang-orang yang salah menjadi benar. Begitu pun sebaliknya, mereka dapat menempatkan orang-orang yang benar di posisi yang tidak semestinya. Di zaman sekarang, para hakim jahat tidak sekadar menerima suap, tetapi juga menyalahgunakan kewenangan mereka dengan 'memperjualbelikan' putusan kepada para pihak yang berperkara.
Tema itulah yang dibahas Ustaz Najmi Umar Bakkar dalam kajian Islam yang digelar Mushala ar-Royan di Kompleks Hankam Kelapa Dua Depok, Jawa Barat, akhir pekan lalu. Dalam ceramahnya, pembina Yayasan Pendidikan Dakwah Babussalam As-Sunnah Cibubur itu mengungkapkan, hakim jahat kini tidak hanya ditemukan di lembaga peradilan tingkat kabupaten kota. Namun, juga di institusi hukum tertinggi sekelas Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kenyataan yang kita dapati sekarang, tidak sedikit hakim yang tega berbuat kejam. Mereka tak lagi peduli dengan hukum Allah SWT. Bahkan, hakim konstitusi sekalipun," ujar Najmi. Dalam satu hadis yang diriwayatkan oleh Buraidah, Nabi SAW bersabda, ada tiga golongan hakim di dunia ini. Satu di antaranya akan masuk surga, sedangkan dua lainnya akan masuk neraka. Hakim yang masuk surga adalah mereka yang mengetahui kebenaran, dan memutuskan hukum dengan kebenaran itu.
Sementara, hakim yang masuk neraka adalah mereka yang mengetahui kebenaran, tapi malah dengan sengaja menyimpang dari kebenaran itu saat membuat keputusannya. Begitu pula dengan hakim yang tidak mengetahui kebenaran dan tidak memahami hukum, tapi memberanikan diri menetapkan hukum dengan kebodohannya, mereka juga akan menjadi penghuni neraka (HR Abu Dawud).
Najmi menuturkan, hakim yang mengetahui kebenaran, tapi tidak memutuskan hukum berdasarkan kebenaran tersebut adalah hakim yang zalim. "Apalagi saat mengemban tugas sebagai hakim, mereka telah disumpah dengan nama Allah. Tapi, mereka tidak amanah, dan malah memakan harta orang lain secara batil," kata dia. Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya berjudul Al-Kabair (Dosa-Dosa Besar) mengungkapkan, hakim yang jahat adalah hakim yang tidak berhukum dengan keadilan dan syariat Allah, tapi malah berbuat zalim kepada manusia dengan putusan-putusan hukumnya. Hakim semacam ini dikategorikan sebagai pelaku dosa besar.
Dalam kitab itu juga disebutkan, hakim yang jahat tidak hanya berbuat zalim, tetapi juga kafir alias ingkar kepada Allah SWT. Adapun dalil yang dijadikan Imam adz-Dzahabi sebagai landasan pendapatnya tersebut adalah firman Allah SWT dalam Alquran, "Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, mereka itu adalah orang-orang yang kafir," (QS al-Maidah [5]: 44).
Najmi mengatakan, hakim yang jahat cenderung hanya mengikuti hawa nafsunya ketika memutuskan suatu kasus. Mereka tidak lagi menjadikan Alquran dan sunah Nabi SAW sebagai pedoman dalam berperilaku. Para hakim itu bahkan, berani mengabaikan hukum Allah yang jelas-jelas memerintahkan mereka untuk berlaku adil. "Hakim yang jahat membela orang-orang yang mau membayar (menyuap mereka untuk memenangkan perkara), bukan membela orang-orang yang benar," ujar Najmi.
Dalam hadis lainnya dikatakan, Allah SWT akan senantiasa menyertai seorang hakim selama dia tidak berbuat zalim. Jika dia berbuat zalim, Allah akan menjauhinya dan setanlah yang akan selalu mendampinginya (HR Tirmidzi). Sementara, dalam satu hadis lagi disebutkan, lidah seorang hakim berada di antara dua bara api sehingga dia menuju surga atau neraka (HR Abu Naim dan ad-Dailami).
Begitu beratnya tugas seorang hakim, bahkan ulama besar sekelas Imam Syafi'i (yang hidup antara 150–204 Hijrah) pun enggan menerima amanah tersebut dari penguasa Muslim di zamannya. Padahal, jika dilihat dari kompetensinya, Imam Syafi'i termasuk ulama yang memiliki pemahaman hukum syariat paling mumpuni sepanjang sejarah Islam.
Ketika Imam Syafi'i diminta menjadi hakim di Mesir oleh Khalifah Abbasiyah, dia langsung jatuh sakit. Dia pun berdoa 'Yaa Allah, jika tugas ini memang baik untukku, mudahkanlah. Tapi, jika tugas ini buruk bagiku, cabutlah nyawaku.' Allah pun lantas menjawab doa Imam Syafi'i, tidak lama setelah itu. Dia wafat sebelum sempat memikul amanah dari khalifah tersebut.
Ironisnya, Najmi mengatakan, banyak orang di zaman sekarang yang justru merasa bangga ketika ditunjuk menjadi hakim. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang menggelar acara syukuran di rumah sebagai bentuk suka cita karena dilantik sebagai hakim. "Padahal, jika mereka tahu bagaimana beratnya tugas seorang hakim, niscaya mereka tidak akan mau menjalani profesi tersebut," ujarnya.
Kajian Islam akhir pekan di Mushala ar-Royyan rutin digelar setiap Ahad, selepas shalat Magrib. Untuk Ahad pekan pertama dan ketiga, ceramah di tempat itu diisi oleh Ustaz Najmi Umar Bakkar. Topik kajiannya menyangkut tentang tema-tema pengetahuan Islam secara umum.
Untuk Ahad pekan kedua dan keempat, ceramah di Mushala ar-Royyan diisi oleh Ustaz Armin Akbar. Topik kajiannya lebih difokuskan pada tema-tema pendidikan akhlak. "Siapa pun boleh datang menghadiri kajian akhir pekan di mushala ini. Tidak harus berdomisili di lingkungan Kompleks Hankam Kelapa Dua," kata salah satu jamaah, Abu Malik.
Sebagian peserta kajian Islam akhir pekan Mushala ar-Royan memang berasal dari berbagai kawasan di Ibu Kota. Ada yang datang dari Cijantung Jakarta Timur, Srengseng Sawah Jakarta Selatan, hingga Cengkareng Jakarta Barat.