REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum, Aldwin Rahadian berpendapat mengenai isi pledoi yang dibuat terdakwa kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Menurut dia, pledoi adalah pembahasan tentang uraian unsur pidana dan fakta persidangan, menekankan isi requisitor.
Menurut Kuasa hukum Buni Yani ini, tujuan tuntutan JPU dan pledoi sejatinya adalah meyakinkan hakim tentang uraian fakta persidangan dan unsur pidana dalam suatu peristiwa pidana dan kausalitasnya.
Jika didalam pledoinya, terdakwa menyalahkan satu pihak atas tuntutan yang diterima terdakwa, maka hal tersebut dapat dianggap tidak relevan, terlebih jika menyinggung pihak diluar fakta persidangan. “Sudah tabiat ahok selalu menyalahkan orang lain, semua orang tahu itu,” ujar Aldwin, Kamis (27/4).
Dia meyakini hakim yang cerdas dan merdeka akan mampu mengesampingkan persoalan di luar fakta persidangan. Menurut Aldwin, seorang hakim dalam memutuskan pidana sebuah perkara berdasarkan pada dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), bukan tuntutan.
“Sehingga walaupun pasal 156 a tidak dituntutkan ke ahok, hakim tetap bisa memidanakan ahok berdasarkan 156 A,” tambah dia.
Sebelumnya, Penasihat Hukum terdakwa penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, Fifi Lefty Tjahaja Purnama, membacakan pleidoi (pembelaan) dalam sidang ke-21 Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Selasa (25/4) lalu.
Penasihat Hukum yang sekaligus adik dari Ahok ini menegaskan tidak ada niat terdakwa untuk menodai dan membenci Islam atau umat Islam. Fifi menegaskan, mereka yang berusaha menggunakan ayat Alquran untuk menjatuhkan BTP secara politik itulah penyebar tafsir kebencian sebenarnya di masyarakat.
Apalagi dengan adanya fatwa MUI itulah, kata dia, yang menyebar perpecahan di masyarakat dan hal itu juga merusak demokrasi, sehingga penegakan hukum tunduk pada tekanan massa. "Jelas ini merusak Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika bangsa ini," kata dia.