Kamis 27 Apr 2017 18:22 WIB
MES Menjawab

Bagaimana Pandangan Islam tentang Buruh?

Buruh
Buruh

REPUBLIKA.CO.ID, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pengasuh MES Menjawab yang saya hormati, sejak masa reformasi masyarakat Indonesia memperingati  hari buruh sedunia yang jatuh pada tanggal 1 Mei. Saya mendengar bahwa hari buruh itu dekat dengan sosialisme dan komunisme. Sebenarnya bagaimanakah pandangan Islam terhadap buruh? Kebetulan saya seorang wiraswasta dimana beberapa pekerja membantu saya. Meskipun bisnis saya masih kecil namun saya ingin menerapkan pengupahan secara Islami agar mendapat berkah dari Allah.  Bagaimana sebenarnya cara pengupahan yang benar menurut syariat Islam? Mohon sarannya. Terima kasih, Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. 

 Zahara Febryanti – Baturetno, Banguntapan, Bantul.

 

JAWABAN

 

Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh. Saudara Zahara yang semoga dimuliakan Allah, memang benar sejak era reformasi masyarakat Indonesia diperkenankan oleh pemerintah untuk memperingati hari buruh dunia atau sering dikenal dengan May Day.  

Sejarah hari buruh dunia memang  tidak terlepas dari fakta adanya eksploitasi buruh oleh para majikan untuk keperluan  produksi pada abad 18 -19 di Eropa Barat dan  Amerika Serikat.Buruh harus bekerja bahkan hingga 20 jam sehari dengan upah yang sangat minim. Karenanya, pada  1 Mei sampai dengan 4 Mei 1886 di Amerika Serikat berlangsung demonstrasi buruh  yang diikuti lebih dari 400 ribu buruh. 

Bahkan, pada 4 Mei itu banyak buruh ditembaki polisi hingga ratusan meninggal dunia dan para pemimpinnya ditangkapi.  Pada Juli 1889 Kongres Sosialis Dunia di Paris menetapkan 1 Mei sebagai hari buruh sedunia. 

Pandangan Islam terhadap buruh/pekerja berangkat dari anggapan bahwa majikan dan buruh memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendapatkan kemaslahatan dalam hidup di dunia maupun akhirat. Buruh bagi seorang majikan adalah partner untuk menggapai kemaslahatan hidup. Seorang buruh menginginkan untuk memperoleh empat kemaslahatan, yaitu untuk mendapatkan kebahagiaan spiritual, kebahagiaan jiwa, upah yang diterima dan kenikmatan pekerjaan itu sendiri. 

Upah memang merupakan insentif yang diperlukan dalam bekerja, karena diharapkan dengan upah ini meningkat akan lebih sejahtera dan akan bisa beramal lebih banyak. Dasar penentuan upah secara syariah telah dijelaskan pada edisi Januari 2011. 

Dalam sebuah hadits riwayat Mustawrid bin Syadad, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia  mencarikan istri (untuknya); seorang  pembantu  bila tidak memilikinya. Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal. 

Abu Bakar mengatakan: Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Siapa yang mengambil sikap selain itu, maka ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri.” (HR Abu Daud). Dari hadits tersebut dan beberapa dalil lainnya, secara ringkas Islam memandang bahwa upah bukan sekedar uang. 

Paling tidak terdapat dua perbedaan konsep upah antara konvensional dan Islam: pertama,  Islam melihatupah sangat besar kaitannya dengan konsep moral, sementara Barat tidak.  Kedua, upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi (kebendaan atau keduniaan) tetapi menembus batas kehidupan, yakni berdimensi akhirat yang disebut dengan pahala. Adapun persamaan kedua konsep upah antara Barat dan Islam adalah; pertama, prinsip keadilan (justice), dan kedua, prinsip kelayakan (kecukupan).

Perbedaan upah yang diterima antarpegawai dalam praktik merupakan hal yang sering terjadi. Namun pandangan Barat mengenai hal ini terjadi karena adanya perbedaan atribut pekerja. Mereka meyakini berlakunya hukum kesamaan upah, dimana seorang pekerja yang memiliki atribut yang sama akan menerima upah yang sama. Adanya perbedaan upah mencerminkan adanya perbedaan biaya transportasi dan biaya transaksi semata. Namun demikian dalam praktik, perbedaan upah ini sering terjadi (karena perbedaan pendidikan, usia, pengalaman, dsb). 

Perbedaan upah ini menurut Barat dijelaskan dengan dua penjelasan. Pertama, perbedaan upah disebabkan karena adanya perbedaan produktivitas pekerja atau karena adanya perbedaan kemampuan dan kondisi kerja yang tidak dapat dilihat secara langsung. 

Penjelasan kedua, perbedaan upah ini disebabkan oleh kinerja dan perilaku industri, sehingga meskipun keahlian dan atribut pekerja adalah sama namun pegawai suatu industri bisa berbeda dengan upah di industri lainnnya. 

Permasalahannya bagaimana pandangan Islam mengenai hal ini? Sebagaimana dijelaskan di muka, pekerja menurut Islam berhak mendapatkan insentif duniawi maupun ukhrowi. Aspek duniawi yang memperbolehkan adanya perbedaan upah adalah aspek kemampuan atau produktivitas pegawai dan aspek kemampuan perusahaan dalam memberikan upah. Namun dalam aspek ukhrowi, perbedaan upah dimungkinkan karena adanya perbedaan kondisi dan usaha pegawai dalam mewujudkan kemaslahatan. 

Misalnya, tunjangan sandang atau makan bagi pegawai perempuan yang lebih besar dengan pertimbangan kesehatan, tunjangan asuransi kesehatan yang berbeda nilainya untuk menciptakan suasana aman bagi pegawai dan sebagainya. Hal ini harus dilakukan agar setiap pegawai memiliki akses yang sama untuk berbuat kebaikan. 

Aspek kedua, perbedaan upah disebabkan karena adanya kemampuan pegawai dalam mewujudkan kemaslahatan, misalnya menghemat bahan baku, meminimalkan kerusakan lingkungan, atau kemampuan pegawai  melakukan ibadah dengan  baik atau mencegah kemungkaran di perusahaan. Meski demikian adanya perbedaan upah ini bisa diwujudkan dalam bentuk non-uang, seperti manfaat atau insentif lainnya, sehingga mendorong setiap pegawai untuk berlomba meningkatkan kemaslahatan. Demikian semoga Allah menuntun kita untuk dimampukan menjadi manusia yang selalu bertambah manfaatnya. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement