REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Hanura, Dossy Iskandar Prasetyo menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga yang termasuk ke dalam bagian pemerintah. Sebab, KPK didirikan hanya untuk mengganti posisi kejakasaan dan kepolisian untuk melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap kasus korupsi.
Dossy menjelaskan, Undang-Undang Dasar 1945 membagi dua macam kekuasaan, yakni kekuasaan pemerintahan negara dan kekuasaan kehakiman. Lembaga antirasuah, KPK, tentu tidak menjadi bagian dari kekuasaan kehakiman. Sebab, kekuasaan tersebut hanya meliputi Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi.
"KPK di mana? KPK menggantikan posisi jaksa dan polisi sebagai penyidik dan penuntut umum yang dianggap fungsinya tidak maksimal untuk melawan extraordinary crime. Lalu lahir KPK. Berarti, KPK jadi bagian kekuasaan penyelenggara negara. Karena bagian dari itu, ya bisa (dijadikan objek hak angket DPR)," kata dia saat dihubungi, Senin (1/5).
Dossy juga menyadari DPR memang tidak bisa menyentuh ranah proses penyidikan hukum yang tengah dilakukan KPK dalam mengusut kasus korupsi KTP elektronik. Karena itu, DPR melalui hak angket itu meminta KPK membuka hanya rekaman pemeriksaan yang penyebutan bahwa anggota komisi III DPR menekan Miryam.
"Yang kita minta, khusus kata-kata Miryam yang mengatakan ditekan (anggota komisi III DPR). Itu saja, yang lain enggak usah. Kan KPK independen. DPR enggak berhak buka itu. Kita tahu ranah kita di mana, kita enggak boleh campuri. Jadi enggak ada intervensi," kata dia.
Menurut Dossy, kalau memang sesuai dengan standar prosedurnya, KPK cukup menjawabnya di dalam proses angket tersebut. Kalau dugaan DPR tidak terbukti, artinya KPK sudah melakukan tugasnya sesuai prosedur. "Kan katanya itu bagian dari proses penyidikan, berarti ada BAP-kan. Kalau enggak ada di BAP, jawab saja tidak ada di BAP. Misal adanya di rekaman lain, jawab saja seperti itu," kata dia.
Dossy juga mengatakan, DPR ingin agar jangan sampai ada proses peradilan yang sesat. Dalam kondisi ini, DPR khususnya komisi III ingin mengingatkan KPK agar tetap bekerja sesuai standar prosedur semestinya. DPR melalui angket itu juga ingin agar dugaan-dugaan fitnah terhadap DPR itu tidak ikut menjadi bagian dari penyidikan sehingga memengaruhi putusan hakim.
"Itu yang nanti kita dalami. Ini bisa menjadi preseden buruk kalau tidak bisa membuktikan di peradilan, kemudian nanti dicarikan jalan-jalan apa saja yang penting orang dibawa ke sana harus salah, kan gak begitu," kata dia.