REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan, KPK memang sudah menerima surat dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) soal Jaksa Urip Tri Gunawan, narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Tetapi, surat itu bukan soal pembebasan bersyarat, melainkan hanya menanyakan perihal denda yang harus dibayarkan dan konversi denda.
KPK juga belum merespons surat tersebut. "Kami belum merespons, karena perlu mengecek, mempertimbangkan banyak hal. Jadi kalau ada yang mengatakan (pembebasan beryarat) sudah dikonsultasikan ke KPK, sudah seizin KPK, saya kira itu tidak tepat," kata Febri di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (16/5).
Saat ini, KPK sedang mempelajari dan akan mengkoordinasikan lebih lanjut mengenai surat tersebut. Febri mengatakan, pemberian remisi bisa menjadi peseden buruk ke depannya. Meski hal itu diatur Undang-undang, namun ada sikap-sikap, kebijakan, misalnya diatur PP 99 2012 terkait keseriusan upaya pemberantasan korupsi.
"Karena kalau kita membaca UU, 2/3 menjalani masa pidana tersebut adalah ketentuan minimal. Jadi tidak harus begitu 2/3 menjalani masa hukuman pidana kemudian harus dibebaskan karena ada syarat-syarat yang lain, dan ada concern-concern yang lain yang perlu diperhatikan," kata dia.
Soal apakah pemberian bebas bersyarat itu cacat prosedur atau tidak, menurut Febri, bukan domain KPK untuk menilai. Namun, dalam PP 99 2012 sudah jelas diatur terkait hukuman tambahan. Begitu juga dalam UU Tipikor dan di KUHP diatur soal hak tambahan pencabutan hak-hak terpidana.
"Terkait pemberian remisi, ada hak politik, dalam kasus Muhctar Effendi (kasus suap Pilkada) misalnya, ada hak remisi. Tapi ini perlu jadi sikap bersama agar ada efek jera bagi terpidana," ujarnya.
Febri mengatakan, penting mempertimbangkan secara serius soal pemberian remisi dan pembebasan bersyrat. Jangan sampai ada kesan kalau pemberian remisi diberikan secara sama rata terhadap terpidana umum dan terpidana korupsi. "Karena concern kita cukup jelas dalam upaya memberantas korupsi," jelasnya.
Febri menambahkan, KPK tidak ada kompromi soal efek jera bagi terpidana. Dalam menjatuhkan hukuman, Kemenkumham dinilai harus semaksimal mungkin. Jangan sampai, kata dia, ada kemunduran dalam pemberantasan korupsi.
KPK juga menanggapi terkait Kemenkumham yang disebut akan merevisi PP 99. Menurut KPK, PP 99 sudah sangat kuat. MA pernah menolak uji materi PP tersebut karena tidak bertentangan dengan UU permasayarakatan sehingga ada pemberlakuan khusus terhadap terpidana korupsi.
Artinya, sebnarnya PP ini tidak bertentangan dengan UU permasyarakatan. Jadi tidak ada alasan lagi bahwa peraturan itu bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan UU permasyarakatan.