REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setiadi menyetujui soal pertimbangan dasar hukum dari hakim untuk menolak permohonan praperadilan yang diajukan mantan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani.
"Jadi saya kembali mengutip apa yang menjadi pertimbangan hakim tunggal praperadilan bahwa beliau tadi menyampaikan dasar hukumnya salah satunya adalah Pasal 1 ayat 1 Undang Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002," kata Setiadi seusai menghadiri sidang putusan praperadilan Miryan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (23/5).
Dalam pertimbangan putusannya, Hakim Asiadi menyatakan sesuai Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang KPK Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Oleh karena itu, Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang disangkakan kepada Miryam masih menjadi kewenangan KPK.
Sebelumnya, tim kuasa hukum Miryam sendiri menyatakan penetapan tersangka terhadap kliennya itu tidak sesuai dengan Pasal 174 KUHAP. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Hakim Tunggal Asiadi Sembiring menolak permohonan praperadilan yang diajukan mantan anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani.
Selanjutnya, kata Asiadi, menimbang bahwa tindakan termohon yang menetapkan pemohon sebagai tersangka berdasarkan surat perintah penyidikan tanggal 5 April 2017 adalah sah dan berdasar hukum.
Kemudian, kata Asiadi, menimbang oleh karena permohonan praperadilan ditolak maka pemohon dibebankan untuk membayar biaya perkara ini. KPK menetapkan Miryam S Haryani sebagai tersangka memberikan keterangan tidak benar pada persidangan perkara tindak pidana korupsi proyek KTP elektronik (KTP-el) atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Miryam disangkakan melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp 600 juta.