REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada tahap awal, pasal yg disangkakan kepada Irjen Kemendes PDTT Sugito dan pejabat eselon 3 Kemendes PDTT, Jarot Budi Prabowo sebagai pemberi suap dinilai sudah tepat. Hal itu disampaikan Pengamat hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Suparji Ahmad kepada Republika.co.id, Ahad (28/5).
"Tetapi jika dalam pengembangan ada unsur tindak pidana yang lain, maka bisa diterapkan pasal lain dengan ancaman yang lebih berat," ujarnya.
Pada saat Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (26/5) lalu, diketahui di ruangan Rochmadi ditemukan uang sejumlah Rp 1,45 miliar dan 3 ribu dolar AS yang belum diketahui kaitannya dengan kasus tersebut.
Pada operasi tersebut KPK menetapkan empat tersangka yaitu sebagai pemberi suap adalah Irjen Kemendes PDTT Sugito, dan pejabat eselon 3 Kemendes PDTT Jarot Budi Prabowo yang disangkakan pasal 5 ayat 1 1 huruf b atau Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo 64 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sedangkan sebagai pihak penerima suap adalah auditor utama keuangan negara III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rochmadi Saptogiri, dan auditor BPK Ali Sadli. Kedua pejabat BPK itu disangkakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 atau 5 ayat 2 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
"Keuangan negara harus dikelola dengan baik dan BPK merupakan lembaga negara yang memiliki kewenangan. KPK harus lebih progresif mengusutnya termasuk kementerian dan lembaga negara lain," ujar Suparji.