REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- FITRA menganggap, setelah proses operasi tangkap tangan (OTT) oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap Irjen Kemendes, langkah yang harus dilakukan adalah perlunya bersih-bersih kementerian itu. Sebab, penunjukan Plt Irjen belum menjamin adanya perbaikan di internal kementrian itu.
Sekjen FITRA, Yenny Sucipto menyatakan setidaknya ada tiga alasan perlunya audit ulang. Pertama, dua kali berturut-turut Kemendes PDTT mendapat predikat WDP (Wajar dengan pengecualian). Kedua, indikasi kuat kementerian baru tersebut buruk dalam tata kelola anggaran dan birokrasi. Terutama terkait pengadaan dan belanja perjalanan dinas.
Ketiga, kementerian desa menjadi contoh perintahan desa dengan dana desa 40 triliun tahun ini. Padahal, WDP Kemendes PDTT tahun 2015 karena Rp 378,46 miliar utang kepada pihak ketiga bermasalah, dokumen tidak tersedia.
Selain itu, Aset Barang Milik Negara (BMN) sebesar Rp 2,54 triliun, dari nilai tersebut tidak didukung dengan rincian sehingga tidak dapat ditelisuri keberadaanya. Lalu Akumulasi aset tanah, peralatan dan barang pengadaan senilai Rp 2,55 triliun tidak didukung rincian dan tidak diketahui keberadaanya.
Terakhir, saldo persediaan barang senilai Rp 3,32 triliun tidak terinventarisasi dengan baik. Tidak terdapat bukti yang cukup. Audit ulang ini harus dilakukan dengan catatan dilakukan oleh auditor yang berintegritas, dan berkolaborasi dengan pihak lain, misalnya akuntan publik atau penyelidik/penyidik KPK yang berlatar belakang auditor.
"Sebelum dilakukan audit perlu terlebih dahulu di eksaminasi publik laporan WTP yang terindikasi beli tersebut. Agar publik tahu, bagaimana metodologi, sampling hingga pengambilan kesimpulan. Sehingga terjawab kenapa kok bisa WTP, sampling mana yang tidak audit padahal bermasalah. Dan apakah tindaklanjut dari laporan WDP sebelumnya sudah ditindaklanjuti," ujarnya, Selasa (30/5).
Catatan FITRA, dari tahun 2014-2015 terdapat 11 Temuan BPK, terdapat 36 rekomendasi, sementara 17 di antara rekomendasi hingga saat ini belum ditindaklannjuti. “Ini jelas membebani tata kelola dan menjadi catatan audit. Dari temuan temuan diatas, indikasi korupsi kemungkinan cukup banyak karena tidak dapat ditindaklanjuti setelah audit,” pungkas Yenny.