REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Peneliti dari Transparency International Indonesia (TII) Dedi Haryadi menilai pengusutan kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan helikopter AW-101 di TNI Angkatan Udara menjadi pintu awal untuk membongkar kasus-kasus yang lain di tubuh militer. “Tampaknya pemerintah serius, presiden serius, panglima serius, nah ini akan membuka keberanian atau termasuk inisiatif dari publik atau kalangan militer sendiri untuk mengungkap kasus-kasus sejenis," kata dia saat dihubungi Republika, Ahad (28/5).
Dedi mengatakan, selama ini berbagai kasus yang ada di internal militer selalu bersifat rahasia sehingga publik pun jarang ada yang mengetahuinya. Bahkan, isu-isu yang berkaitan dengan kasus di tubuh militer pun terkesan amat sensitif di mata publik. "Karena kan biasanya ini sangat rahasia, orang juga sensitif terhadap isu-isu (kasus yang ada di militer) ini," ucap dia.
Meski begitu, Dedi meyakini sebetulnya ada pihak-pihak di internal militer yang jujur dan tidak setuju ada kasus-kasus korupsi di tubuh militer. Tapi, orang-orang ini punya kesulitan untuk melaporkan kasus-kasus yang diketahuinya. "Kalau kasus di TNI AU ini diambil langkah serius, diselidiki, ini akan mendorong publik, termasuk mendorong kalangan di internal militer sendiri untuk melaporkan kasus-kasus sejenis," ujar dia.
Menurut Dedi, jika sudah ada komitmen politik yang kuat dari presiden sebagai panglima tertinggi, sebetulnya tidak ada hambatan lagi untuk mengungkap berbagai kasus di tubuh militer. "Masalahnya adalah kalau presiden tidak ada kehendak macam ini (kasus pembelian heli AW-101), ya tidak ada kasus yang terungkap," tambah dia.
Sebelumnya, Polisi Militer (POM) TNI telah menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus pembelian helikopter AW-101. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengaku terus dikejar oleh Presiden RI Joko Widodo untuk mengusut tuntas masalah pembelian helikopter yang berujung pada penggelembungan anggaran itu.
Tiga tersangka tersebut adalah FA, seorang marsekal pertama (marsma) di TNI AU yang berperan sebagai pejabat pembuat komitmen. Kedua, adalah BW yang berpangkat letnan kolonel administrasi dan berperan sebagai pejabat pemegang kas. Ketiga yakni SS dengan pangkat pembantu letnan dua (pelda) yang berperan menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu.