REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengaku kecewa dengan terkuaknya dugaan praktik suap yang dilakukan oleh oknum pejabat di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi kepada sejumlah auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) demi mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Insiden ini menguatkan dugaan bahwa praktik serupa juga bisa terjadi di kementerian lainnya demi memperoleh opini WTP oleh BPK.
Anggota Komisi XI DPR RI Johnny G Plate mengatakan, pimpinan dan anggota BPK harus memastikan tidak adanya jual beli status WTP. Dia juga menuntut BPK dapat bekerja secara profesional sesuai akuntansi negara. "Serta integritas yang tinggi sebagai penjaga gawang terakhir laporan keuangan lembaga negara," tambah Johnny kepada Republika.co.id, Senin (29/5).
Status WTP, menurut anggota fraksi partai Nasdem ini terbatas pada administrasi keuangan sesuai standar akuntansi negara. Hal ini, lanjut dia, membuktikan WTP tidak berhubungan secara langsung dengan pemberantasan korupsi. Fungsi WTP, kata dia juga penting dalam memberikan insentif fiskal berupa dana insentif daerah (DID) bagi daerah. "DID ini kan dinilai laporan keuangannya baik dan memenuhi kualifikasi WTP dari BPK," ucap dia.
Semnegtara itu, Wakil Ketua BPK Bahrullah Akbar mengatakan, dia terus melakukan evaluasi internal pasca penangkapan stafnya yang terjadi akhir pekan lalu. Bahrullah menyebutkan bahwa selain pencopotan jabatan melalui aturan kode etik yang dijalankan, BPK tetap menelusuri celah-celah yang ada terkait kemungkinan kecurangan yang dilakukan oleh auditor ataupun pihak yang diaudit.
"Kalau yang sekarang kami sudah serahkan penuh kepada KPK untuk tindak lanjuti proses hukum yang terjadi. Tentu kami tidak tolerir seperti ini," ucap Bahrullah.
Terkait dengan dugaan bahwa praktik jual beli opoini WTP juga terjadi di kementerian lainnya, Bahrullah menegaskan bahwa pihaknya menjalankan seluruh proses audit berdasarkan sistem yang sudah berjalan. Ia menyebutkan, setiap tahunnya BPK menjalankan proses audit terhadap 534 provinsi, kabupaten, dan kota seluruh Indonesia, serta 87 kementerian dan lembaga. BPK juga melakukan audit untuk Badan Layanan Umum (BLU), beberapa badan hukum perguruan tinggi, dan instansi lainnya.
"Dari awal memang kami harus ingatkan sudah kami ingatkan. Tidak ada hal-hal yang transaksional, tidak ada hal yang komunikasi itu harus dibatasi dengan audit," jelasnya.
BPK sendiri masih mempertimbangkan untuk melakukan re-statement atau pemberian opini ulang terhadap Kementerian Desa PDTT, setelah ditemukannya dugaan praktik suap dalam pemberian opini WTP sebelumnya. Bahrullah menyebutkan bahwa hal ini bisa dilakukan secara akademis. Meski begitu, BPK masih mendiskusikan jalan terbaik yang akan dilakukan terhadap kasus di Kemendes PDTT.
"Namun proses ini harus kami pastikan, karena sejauh ini kami belum ketemu auditornya apakah ada hal-hal yang disembunyikan. Jadi kami belum melihat materinya. Kalau memang ada yang pengaruhi opini, kami tindak," katanya.