REPUBLIKA.CO.ID, MADRID -- Pemerintah daerah Katalonia, pada Jumat (9/6), menyerukan penyelenggaraan referendum untuk memisahkan diri dari Spanyol. Seruan tersebut akan membentuk friksi dan konfrontasi baru dengan Madrid yang menganggap pemungutan suara dalam referendum itu ilegal dan bertentangan dengan konstitusi.
"Pemimpin di wilayah timur laut Spanyol akan menetapkan tanggal pemungutan suara (referendum)," kata seorang juru bicara untuk kepala daerah Carles Puigdemont.
Pemungutan suara tersebut telah direncanakan digelar setelah musim panas. Pada 2014, pegiat pro-kemerdekaan Katalonia menggelar sebuah voting untuk memisahkan diri dari Spanyol serta menghadapi pembatasan pengadilan. Hal tersebut dilakukan beberapa bulan pasca-Skotlandia memilih tetap bergabung dengan Inggris Raya.
Dalam pemungutan suara tersebut, sekitar dua juta masyarakat Katalonia memilih memisahkan diri dari Spanyol. Namun hasil voting itu memang tidak memberi dampak apa pun karena digelar secara sukarela.
"Perselisihan hukum sekarang cenderung mengikuti pengumuman referendum ini, yang dapat berujung pada pemilihan regional di Katalonia jika rencana untuk mengadakan pemungutan suara (referendum) ditolak," kata seorang sumber pemerintah pusat menanggapi seruan referendum Katalonia.
Menurut pasal 155 konstitusi Spanyol, Madrid memiliki kewenangan mengintervensi langsung jalannya pemerintahan di Katalonia. Yang memaksa mereka untuk mencampakkan upaya referendum dan mematuhi undang-undang.
Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan pengiriman personel polisi atau menangguhkan otoritas pemerintah Katalonia. Ini secara luas dilihat sebagai upaya final mengekang Katalonia.